Kamis, 18 Agustus 2011

Cita-Cita Keadilan Sosial dalam Puasa dan Zakat

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan sosial yang dicita-citakan oleh Islam berbasiskan pada keadilan pangan dan keadilan atas sarana-sarana memproduksinya. Hal ini lah yang juga menjadi cita-perjuangan para pendiri bangsa Indonesia menuju pemerdekaan sejati.

Menahan makan dan minum dalam berpuasa bukanlah untuk ditumpuk dan dilampiaskan pada saat berbuka, namun adalah mungumpulkan jatah makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan: mereka yang kelaparan dan berkekurangan pangan. Bulan Ramadlan adalah bulan mengurangi konsumsi pangan; adalah bulan yang dengan itu kita bisa mengumpulkannya untuk dibagi kepada orang lain yang memerlukan (bukan saling berbagi ke sesama yang berkelebihan pangan). Ramadlan adalah bulan dengan roh keadilan sosial yang secara simbolik ditunjukkan pula di penghujungnya dengan kewajiban mengeluarkan zakat fithrah.

Zakat fithrah: kesucian ganda. Jika ditilik dari akar katanya, zakat dan fithrah memiliki kesamaan makna: suci. Apakah “fithrah” seakar kata dengan “futhur”? Jika benar, apakah artinya untuk menyucikan diri, masing-masing orang, harus menempuh melalui jalan pengekangan atas kerakusan pangannya, hingga sebaliknya memberi kesempatan dan akses atas pangan (berbuka: “futhur”) kepada orang lain? Mengapa pula perintah zakat fitrah—yang sifatnya fardlu ‘ain itu—dikaitkan dengan bahan pangan dasar senilai minimal 2,5 kg? Di balik ajaran ini barangkali juga adalah perintah untuk mewujudkan keadilan akses pada sarana-sarana untuk memproduksi pangan tersebut.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan sosial yang dicita-citakan oleh Islam berbasiskan pada keadilan pangan dan keadilan atas sarana-sarana produksi-nya.  Tidak bersikap adil terhadap diri, dengan mementingkan bilangan rakaatnya sembari menafikan realitas kepapaan lebih-lebih menghardiknya dari ruang kognisi dan kebijakan, adalah suatu “pembohongan terhadap agama”.  Tuhan layak murka.


Keadilan tercermin dari siapa memiliki apa; bukan ketimpangan. Keadilan diwujudkan dalam siapa melakukan apa; bukan eksploitasi.  Keadilan terlihat dari siapa mendapatkan apa; bukan pemerasan.  Keadilan tampak dari perilaku seseorang membelanjakan apa yang diperolehnya; bukan kerakusan.

Mereka muzakki, dan mereka mustahiq, adalah kategori yang secara sosial-ekonomi dikenali oleh masyarakat, yang seringkali luput dari amatan administrasi. Jika secara obyektif pendasarannya adalah pada pangan dan sarana produksinya, maka siapa mereka adalah bersifat dinamis. Perlu ijtihad periodik untuk mengetahui siapa mereka itu.

Fithrah manusia dikembalikan kepada seberapa mampu ia mengekang keserakahannya, dan seberapa kuat ia berjuang menegakkan kemerataan dan keadilan sosialnya. Maka tepatlah,  bahwa puasa dan zakat disebut sebagai tindakan “membelanjakan” diri dan apa yang dimiliki “di jalan Tuhan” Rabbul ‘Aalamiin.....

Imsak dan futhur adalah jalan menuju-Nya.

Selamat ber-Ramadlan, dan Dirgahayu Indonesiaku....

(Luthfi, 17 Agustus 2011)