Selasa, 16 Oktober 2012

Kapitalisme dan Perampasan Tanah Global

Silahkan nikmati tulisan Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri "Kapitalisme, Perampasan
Tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan Agraria", di sini

Negara-negara yang melakukan perampasan tanah berasal dari "pemain-pemain baru", yakni negara-negara industrial yang sedang tumbuh pesat, seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Saudi Arabia. Negara sasarannya adalah Indonesia dengan target terbesar dalam jutaan hektar, Madagaskar, Filipina, Sudan, Pakistan, Laos, Mongolia, Argentina, dan jumlah lebih kecil di Amerika Serikat, Kuba, dan Rusia. Sebagaimana diulas oleh GRAIN berikut, dan ini

Peta Global Land Grabbing. GRAIN, 2008



Apa yang terjadi di Merauke dengan proyek estate/perkebunan skala raksasa untuk pangan dan energi (MIFEE) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dan domestik, mengancam ratusan ribu hektar tanah-tanah orang Malind Papua.  Tempo pernah menurunkan investigasinya yang menemukan bahwa pengadaan tanah di Malind sarat dengan rekayasa dan banyak menyalahi prosedur formal. Laporannya ada di sini

Penelitian tentang proyek MIFEE oleh Yando Zakaria dkk. ada di sini

 
MIFEE

Senin, 15 Oktober 2012

Kronik Agraria Indonesia

Kronik Agraria Indonesia

Agraria adalah akibat, dan kapitalisme adalah sebab. Istilah ini tepat menggambarkan perjalanan panjang sejarah agraria di Indonesia. Politik agraria yang lahir dari rezim VOC di nusantara, Kolonial Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga pemerintahan Indonesia sekarang, mencerminkan sikap dan cara mereka dalam menghadapi pertumbuhan kapitalisme. Kejelian dan keteguhan sikap dalam menghadapinya diperlukan, sebab, "manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela". Penyikapan rezim itu hadir dalam bentuk hukum, birokrasi, infrastruktur, dan bahkan formasi kenegaraan itu sendiri diwujudkan. Dari penyikapan itu dapat kita lihat dimana posisi rakyat, apakah kedaulatan mereka yang diutamakan, kedaulatan negara, ataukah justru kedaulatan modal.

Agraria mula-mula adalah tanah. Di atas tanah itu terdapat tetumbuhan, sehingga kita menyebutnya pertanian atau kehutanan. Di atasnya juga bisa terdapat air, sehingga kita menyebutnya pesisir atau kelautan. Di dalamnya terdapat berbagai materi mineral, sehingga kita menyebutnya pertambangan dan perairan. Juga udara. Dengan demikian agraria adalah ruang hidup bagi manusia, tetumbuhan, hewan, dan kehidupan ekologi itu sendiri, serta hubungan yang terjalin di antara kesemua makhluk itu. Hubungan manusia dengan agraria ada dalam hubungan yang kekal, sublim, dengan keintiman yang lekat. Maka tidak pantas dimonopoli, dijadikan bahan dagangan, obyek spekulasi dan ditawar-tawar: siapa yang punya uang, dialah yang mendapatkan.

Selengkapnya, unduh di sini, atau di sini

Birokrasi Agraria sebagai Pewujud Keadilan Sosial

Pengantar:
Tulisan Noer Fauzi Rachman yang bersifat menggugah(t) ini menghadirkan tantangan bagaimana agar birokrasi mentransformasikan dirinya dari birokrasi pemburu rente (rent seeking) menjadi birokrasi pewujud keadilan sosial. Tulisannya pada hlm. 642 ini merupakan epilog atas penerbitan ulang buku karya Moch. Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia



"Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan, maupun mereka yang berada di badan-badan pemerintahan daerah, dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai birokrasi-otoritarian-rente? Selalu saja ada tarikan kuat untuk menjalankan business as usual. Inilah bagian dari tirani status quo. Memang diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai apa yang terjadi, apa saja yang menyebabkannya, dan bagaimana proses pembentukannya. Diperlukan komitmen yang teguh dan kepemimpinan yang kuat untuk mengubahnya menjadi birokasi agraria yang mewujudkan keadilan sosial." 



Selengkapnya, unduh

Sketsa Perkembangan Reforma Agraria dan Studi Agraria

Pengantar:
Wacana dan praktik reforma agraria dan debat studi agraria sangat dinamis dan secara simultan berkembang perspektif-perspektif baru di sepanjang periode. Guna menghindari simplifikasi terhadap debat reforma agraria dan masalah-masalah agraria, dibutuhkan melihat secara komprehensif dinamika dan berbagai percabangan atas masalah tersebut. Tulisan karya Moh. Shohibuddin berikut menyajikan secara ringkas sketsa kebijakan reforma agraria dan debat studi agraria sejak pasca Perang Dunia II hingga sekarang. Tulisan ini menyarankan memahami "pertanyaan-pertanyaan agraria" yang berbeda dalam rentangan sejarah dan geografi, agar tidak secara gegabah senantiasa mendasarkan diri pada "jawaban-jawaban agraria" yang tersedia. Sebagaimana seloroh bernada gugatan, "jika reforma agraria adalah jawabannya, maka apa pertanyaannya?".

peta agraria


Selengkapnya, unduh

Unduh Karya Ilmuwan "Mazhab Bogor"

Silahkan unduh ratusan karya para ilmuwan "Mazhab Bogor": Prof. Sajogyo. Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, Prof. Pudjiwati, dan Dr. Gunawan Wiradi. UNDUH (keterangan: ganti semua org dengan com)

Pasangan Pudjowati dan Sajogyo

Tjondronegoro muda

Gunawan Wiradi sang aktivis


UNDUH BUKU-BUKU STUDI AGRARIA

Silahkan unduh buku-buku studi agraria di tautan berikut, link

Mengapa Anak Muda Emoh Pertanian?

Ilustrasi: Windi Wahyu Ningtyas
                 

            Anak Muda Emoh Pertanian, Mengapa? 
 
Keengganan itu merupakan AKIBAT, bukan SEBAB. Akibat dari menurunnya keterampilan anak muda dan pengetahuan mengenai pertanian. Pendidikan formal mengabaikan urgensitas pertanian. Akibat menurunnya kehidupan pertanian dan pedesaan sebab pembangunan dan kebijakan yang bias perkotaan dan ekonomi ekstraksi. Akibat tidak perhatiannya pemerintah terhadap pertanian skala rumah tangga dan infrastrukturnya, malah memilih pertanian skala industrial untuk pangan dan energi. Akibat diambilnya tanah-tanah untuk tanaman non-pangan bahkan non-pertanian baik secara terencana maupun spontan. Singkatnya, akibat-akibat struktural yang kompleks di luar kendali anak muda sendiri.



Jikapun anak muda ingin bertani, tidak ada akses atas tanah bagi mereka. Budaya patriarkis dan grontokrasi, dimana masyarakat berorientasi mementingkan orang dewasa ketimbang anak muda, tercermin dalam budaya mewaris. Warisan baru diberikan oleh orang tua menjelang mereka meninggal, kepada anak-anaknya yang juga telah berusia dewasa. Siapa yang akan tertarik memulai menjadi petani di usia 40-50 tahun? Akibatnya, tanah tetap ada di tangan orang tua/komunal.
Selain itu, ada masalah serius yang terjadi di keluarga pedesaan Indonesia, yakni keterlepasan tanah keluarga. Orang tua memodali anak untuk sekolah dengan menjual tanah. Orang tua memodali anak untuk bekerja (menjadi buruh kota) dengan menjual tanah, bukan malah memberinya tanah agar bisa bekerja di pertanian. Akibatnya, kedua-duanya kehilangan tanah, pemiskinan pedesaan.


Anak Muda, Korporasi, dan Negara

Meski dimana-mana negara terjadi urbanisasi, namun pertumbuhan penduduk di pedesaan terus bertambah. Lebih dari separo penduduk di negara berkembang tinggal di desa (Amerika Latin, Karibean, Timur Tengah, Afrika Selatan, termasuk Indonesia. Sejumlah 70 % dari mereka hidup miskin, 80 % dari mereka bekerja di pertanian. Pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar dunia. Sementaraterdapat fakta bahwa jumlah pengangguran  anak muda usia 15-24 dua kali lipat dibanding orang tua. Kemiskinan melanda anak muda.

Model pembangunan neoliberal menghancurkan kesempatan kerja banyak sektor sehingga terjadi surplus penduduk dan surplus tenaga kerja. Pembangunan industrial bukan penyedia pasar  tenaga kerja, malah banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terlepas dari (calon) tenaga kerja pertanian menjadi buruh, dan terlepas dari buruh menjadi pengangguran. Sebagian mengadu nasib menjadi buruh migran. 

Tidak ada kebijakan menyeluruh/mendasar oleh pemerintah. Buruh-buruh itu malah dipromosikan untuk menarik investasi. Keunggulan berinvestasi di Indonesia sebab negeri ini memiliki tenaga kerja murah, bisa di-outsourcing-kan (dan bisa dipecat sewaktu-waktu). Demikain promosi pemerintah terhadap investor asing maupun domestik. Menggiurkan bukan!  Itulah cara pemerintah dalam “menyalurkan” tenaga kerja Indonesia. Tak ubahnya sebagai penyalur jasa tenaga kerja.  Jika sudah tidak mampu lagi, inilah yang dilakukan, menggencarkan program enterpreunership. Seakan sedang berkata, “Silahkan berusaha sendiri, ciptakan kerja sendiri, kami tidak bertanggung jawab atas nasib kalian. Bersainglah dalam dunia pasar”.  Program entrepreneurship dikampanyekan, diajarkan, dipertontonkan bahkan dianugerahi dengan serangkaian award oleh banyak pihak. Kampus latah, korporasi senang, pemerintah ongkang-ongkang. Kewirausahaan cerminan belaka dari deagrarianisasi, footloose labor, ekonomi pasar yang homo homini lupus, dan tentu saja absennya negara. 

Tanah, masa depan pemuda dan pertanian, akan suram gambarannya jika struktur lebih luas mengenai kebijakan agraria dan struktur sosial-kebudayaan masyarakat Indonesia, masih berorientasi pada ekonomi skala besar korporasi dan bukan rumah tangga, serta patriarkis dan gerontokratif. Jika demikian, kemana arah transformasi masyarakat (agraria) kita?
(A. N. Luthfi, ringkasan ini diinspirasi oleh, unduh)

Tulisan selengkapnya, unduh