Dari Badan Pertanahan Nasional
Menuju Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
Ahmad Nashih Luthfi
A. Pendahuluan
Transformasi kelembagaan dari yang semula terbatas pada pengurusan “pertanahan” oleh BPN RI menuju “keruangan” oleh Kementerian baru terhadap pengelolaan sumberdaya agraria dan kekayaan alam Indonesia ini merupakan pilihan yang baik dalam mengatasi dualisme administrasi pertanahan. Dengan perubahan kelembagaan baru ini diharapkan ia mampu mengatur ruang dalam arti lebih umum, yakni berlaku di atas kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Upaya mengakhiri sektoralisme agraria.
Hal paling mendasar dalam perubahan kelembagaan ini adalah menempatkan pengelolaan pertanahan dan kekayaan alam dalam logika kesejahteraan rakyat dan bukan menjadikannya sebagai komoditas ekonomi. Idealnya kementerian baru ini berada di bawah koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat dan bukan Kementerian Ekonomi dan Industri, atau minimal struktur kelembagaan yang akan dibentuk senantiasa diarahkan dalam tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat tersebut. Di sinilah letak perubahan paradigma yang dimaksud.
B. Landasan Filosofis dan Yuridis
Penataan struktur kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berlandaskan pada beberapa dasar filosofis dan cita-cita berikut. Transformasi kelembagaan baru beserta penataan birokrasi pelaksananya ini diharapkan dapat memperlancar dan mempercepat terwujudnya cita-cita yang terkandung. Perubahan nomenklatur kelembagaan dapat dianggap sebagai hardware yang mewadahi segenap cita-cita perbaikan yang sangat mutlak mempersyaratkan perubahan pada software-nya yakni karakter dan mentalitas para pelaksananya
1. Amanat Konstitusi
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ada tiga (3) hal yang penting digarisbawahi atas pemaknaan konstitusi ini.
Pertama, frase dikuasai negara. Negara tidak mempunyai ‘Hak Milik’ sejak prinsip ‘Hak Menguasai oleh Negara’ (HMN) menggantikan pernyataan hak milik negara hukum kolonial (domein verklaring). Melalui hak menguasai itu, negara mempunyai wewenang mengatur, mengelola, dan menyelenggarakan agar tanah-air Indonesia digunakan dan dimanfaatkan untuk;
Kedua, sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi bukan untuk negara itu sendiri sebagai lembaga otonom, apalagi negara yang disempitkan artinya sebagai pemerintah, namun adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Melalui peruntukan tanah bagi rakyat, kesejahteraan tidak hanya memiliki arti ekonomi (wealth) namun arti politik (power), sekaligus kepribadian (equity and character) yang mana hubungan manusia dengan manusia lain berlangsung secara berkeadilan, menghormati nilai-nilai dan karakter masyarakat yang hidup di dalam dan bersama tanah-airnya dengan segenap pemaknaan alam lingkungannya. Dengan demikian makna dari pembangunan nasional (bangsa dan negara) sejatinya adalah pembangunan rakyat Indonesia dengan memperkuat ekonomi, politik, dan kepribadian tersebut.
Akan tetapi, yang seringkali dilupakan adalah cara menuju tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia tersebut. Kondisi sejahtera rakyat Indonesia tidak mungkin tercapai di dalam situasi dimana tanah-air Indonesia dimiliki, dikuasi, digunakan, dan dimanfaatkan secara tidak berkeadilan: berpihak pada yang kuat dan mengabaikan mayoritas rakyat Indonesia yang lemah dan dilemahkan. Jalan tempuh menuju kesejahteraan inilah yang menjadi poin berikutnya, yakni;
Ketiga, melalui alokasi tanah-air Indonesia yang adil dan berkeadilan. Adil dahulu baru kemudian tercapai kesejahteraan rakyat itu. Dalam politik agraria, untuk menuju alokasi yang adil ini dilakukan penataan struktur agraria melalui pelaksanaan kebijakan reforma agraria (landreform). Pihak yang berlebihan dikurangi (dispowerment) dan pihak yang berkekurangan ditambahi (empowerment). Inilah arti restrukturisasi dalam reforma agraria tersebut yang memiliki dimensi ganda berupa pemberdayaan dan pengendalian.
Dapat disiimpulkan bahwa konstitusi Indonesia yang dicerminkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas menegaskan pentingnya alokasi tanah dan kekayaan alam yang adil dan berkeadilan melalui pelaksanaan reforma agraria, sehingga dapat tercapai prinsip Hak Menguasai oleh Negara (HMN) atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk cita-cita sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 = Reforma Agraria. Inilah yang disebut sebagai Konstitusionalisme Reforma Agraria.
2. Mandat Utama TAP MPR RI No. IX/2001
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR maupun Presiden, yakni, pertama, menjalankan pembaruan agraria, dan kedua, menegakan prinsip-prinsip pengelolaan kekayaan alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sebagai arahan kebijakan, ketetapan di atas mengamanatkan: (1) dilakukan peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah land reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan land reform ini; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan kekayaan alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-konflik; dan (4) mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan kekayaan alam.
Kandungan ketetapan tersebut belum dijalankan secara mendasar. Mandat dan amanat itu sulit dijalankan oleh kementerian sektoral apalagi lembaga setingkat badan berupa Badan Pertanahan Nasional yang keberadaannya dibentuk oleh regulasi setingkat Perpres. Dengan keberadaan Kementerian Agraria dan tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional maka terbuka peluang pelaksanaan arahan kebijakan tersebut. Kementerian ini bertekad untuk melaksanakan seluruh arah kebijakan dan mandat Ketetapan tersebut secara konsisten dan memantau pelaksanaannya secara transparan, berkelanjutan, dan akuntabel dengan membentuk jaringan pemantau antar pemangku kepentingan.
3. Mandat Historis UUPA 1960
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan turunan dan penerjemahan dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Sejak semula UUPA memiliki perspektif ‘ruang’ dan bukan semata-mata ‘bidang’. Pergeseran cara pandang yang terjadi dalam sejarah kelembagaan agraria di masa yang lalu berakibat pada pemahaman bahwa tugas utama lembaga ini semata-mata adalah pendaftaran tanah atas bidang-bidang tanah (administrasi pertanahan) dan meminggirkan penata-gunaan tanah (Tata Guna Tanah) yang merupakan aspek keruangannya. Sangat penting dilakukan revitalisasi perspektif keruangan berupa penataan atas hubungan bidang-bidang tanah (bumi) dan air dari sisi kondisi fisik, status, dan fungsinya. Kebijakan penataan inilah yang menunjukkan bahwa UUPA 1960 menyandang tugas politik pertanahan, bukan semata-mata administrasi pertanahan. Hal ini tidak terlepas dari definisi UUPA ayat 1 (6) itu sendiri yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat 4 dan 5 pasal ini". Secara genuine dapat digali aspek ketata-ruangan kelembagaan baru ini dari apa yang telah ada, yakni UUPA dan sejarah kelembagaan agraria di masa lalu. Secara prinsipil penataan ruang ditempatkan sebagai pengendali dan penahan (controlling, blocking) peralihan penggunaan tanah, menggantikan penataan ruang sebagai penganjur (imperative) perubahan penggunaan tanah yang bisa berakibat melanggar hak atas tanah.
Dengan demikian perubahan nomenklatur kementerian dari Badan Pertanahan Nasional menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang berarti perubahan paradigma dalam melihat tanah dan kekayaan alam. Jika semula ia dipahami sebagai penguatan status bidang per bidang, maka kini dilengkapi pemahamannya menjadi kondisi, status, dan fungsi hubungan antar-bidang dan bidang-bidang tersebut yang membentuk ikatan kawasan atau ruang; serta kawasan tersebut sebagai ruang hidup orang-orang yang tinggal di atasnya. Oleh sebab itulah telah dinyatakan sebelumnya dalam UUPA 1960 Pasal 6 yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”.
Bagian penting lain dari UUPA 1960 yang memerlukan perubahan tidak hanya ‘bussiness as usual’ seperti selama ini adalah mengenai pendaftaran tanah. UUPA 1960 Pasal 19 menjamin kepastian hukum hak atas tanah melalui pendaftaran tanah. Pelaksanaannya diatur dalam PP No. 10/1961 dan dilengkapi dalam PP No. 24 Tahun 1997. Regulasi ini menugaskan pemerintah untuk mengadakan pengukuran dan pemetaan tanah, mendaftar hak dan peralihannya, memberikan surat bukti hak atas tanah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang perlu melakukan pendaftaran tanah bukan hanya kerangka kepemilikan privat namun juga mengembangkan sistem pendaftaran tanah dalam hak milik kolektif dan hak milik komunal atas tanah-tanah adat (ulayat). Hal ini juga merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara sehingga tanah hutan tersebut perlu didaftarkan (minimal diregistrasi) oleh kementerian yang berwenang. Selain itu prinsip pendaftaran yang didorong pelaksanaannya adalah pendaftaran tanah stelsel aktif oleh pemerintah dan bukan sporadik atau pasif yang hanya mengandalkan permohonan pendaftaran tanah dari masyarakat. Program pendaftaran tanah nasional perlu dilakukan dengan menggunakan biaya yang bersumber dari APBN ataupun non-APBN. Prinsip ini dilakukan menyadari bahwa hak atas tanah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (bidang ecosoc), sehingga perlindungan hukum atas hak tersebut harus diberikan oleh negara secara aktif melalui pelaksanaan pendaftaran tanah.
Lahirnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan, tertanggal 17 Oktober 2014, merupakan kesempatan baru terhadap pengakuan dan pendaftaran penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat (perorangan maupun masyarakat hukum adat) di dalam kawasan hutan. Peraturan Bersama ini menempatkan Kepala Kantor Wilayah BPNRI atau Kantaor Pertanahan Kota/Kabupaten sebagai ketua Tim IP4T. Meski demikian, Peraturan Bersama ini masih menyisakan pertanyaan mengenai pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang sebagaimana Permenag No. 5/1999 harus melalui adanya peraturan daerah; dan persoalan mengenai konstruksi kepemilikan kolektif dan komunal selain kepemilikan privat.
4. Visi dan Misi Pemerintah RI 2014-2019
Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Drs. Jusuf Kalla memiliki cita-cita pembangunan Indonesia menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui pembenahan bidang agraria. Dalam Sembilan Agenda Prioritas atau yang dikenal sebagai Nawacita, disebutkan pembenahan agraria berupa, “Menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat” (No. 4). Guna meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dilakukan dengan cara “mendorong landreform dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar” (No. 5), serta pencetakan “1 juta hektar lahan sawah baru di luar jawa” (No. 6) dalam rangka peningkatan produksi dan kemandirian pangan.
Cita-cita di atas berangkat dari kesadaran atas kenyataan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan alokasi tanah dan kekayaan alam serta tinggi dan semakin masifnya konflik agraria yang terjadi hingga saat ini. Data BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan tanah 0,36 hektar (petani gurem). Terdapat 6,1 juta RTP di Jawa dan 5 juta di luar Jawa yang tidak memiliki tanah pertanian (tuna kisma). Sebanyak 32 juta jiwa petani Indonesia saat ini adalah buruh tani.
Di sisi lain kondisi peralihan tanah sangat mengkhawatirkan. Laju penyusutan tanah pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau rata-rata 129.000 ha/tahun (lebih 353 ha/hari tanah pertanian hilang). Setiap hari sebanyak 1.408 rumah tangga terpaksa kehilangan dan meninggalkan tanah dan sawahnya. Mereka menjadi kelas baru di sector informal perkotaan atau bahkan sebagai surplus labor yang tidak terserap ke sektor pekerjaan manapun di desa maupun kota, alias menganggur. Inilah nasib orang-orang Indonesia dan tanahnya di awal dekade abad 21.
C. Tata Kelembagaan
Berdasarkan mandat, amanat, serta cita-cita di atas, maka tata kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang memerlukan unsur pelaksana dalam struktur sebagai berikut.
1. Direktorat Jenderal Reforma Agraria. Norma mengenai Reforma Agraria yang terkandung di dalam Konstitusi pasal 33 ayat 3 yang telah diuraikan di atas perlu dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Undang-Undang. Dirjen ini bertugas menyusun usulan UU Reforma Agraria yang Komprehensif (Comprehensive Agrarian Reform Law) dan kemudian menyusun dan melaksanakan Program Reforma Agraria yang Komprehensif (Comprehensive Agrarian Reform Program). Belajar dari pengalaman negara lain pasca memperoleh kemerdekaannya, agenda pemerdekaan hakiki masyarakatnya dari ikatan fodal dan kolonial adalah menetapkan reforma agraria sebagai agenda bangsa. Filipina dalam mencantumkan reforma agraria dalam Konstitusi 1987, diturunkan dalam UURA dan Program RA nasional, demikian pula Brazil melalui First Land Reform National Plan, Nicaragua dengan Konstitusi 1987, Afrika Selatan dalam Konstitusi 1996, dan Bolivia dalam Konstitusi 2009. Oleh sebab itu pelaksanaan reforma agraria atau land reform bukan diletakkan dalam kerangka legalisasi aset, namun adalah perombakan struktur tenurial yang tidak adil oleh sistem feodal, kapital ataupun pasar, menuju struktur yang berkeadilan, dan kebijakan agraria yang berwawasan HAM dan lingkungan. Selain itu adalah menjadikan reforma agraria sebagai agenda pemerintah nasional dan bukan hanya program sektoral kementerian. Sebagai gambaran, tanah obyek landreform dapat diperoleh dari Tanah Terlantar seluas 7.386.290 hektar (data BPN 2010) dan dari kawasan hutan yang dapat dikonversi seluas 8,1 juta hektar sampai dengan 17,94 juta hektar (data Kementerian Kehutanan 2010). Oleh sebab itu komunikasi dan koordinasi dengan kementerian lain sangat penting.
2. Direktorat Jenderal Penyelesaian Konflik Agraria. Dirjen ini mengusulkan kepada Presiden RI untuk membentuk lembaga lintas sektoral di bawah Presiden yang bertugas mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik agraria baik secara kasus per kasus maupun sistemik. Dirjen ini menjadi bagian dari lembaga yang akan dibentuk tersebut, duduk bersama dengan kementerian lain, TNI/Polri, serta unsur independen yang lain. Diperlukan lembaga lintas sektor yang langsung di bawah presiden sebab konflik yang terjadi telah bersifat meluas, sistemik, dan lintas sektoral. Selain menangani penyelesaian konflik agraria, Dirjen ini juga menyelesaikan konflik regulasi yang terkait dengan tanah dan kekayaan alam. Rejim sektoral yang membedakan tanah-air Indonesia menjadi kewenangan Kehutanan dan kewenangan Non-Kehutanan harus segera diakhiri. Dipimpin langsung oleh Presiden RI harus diputuskan pembedaan antara fungsi atas tanah, yakni penggunaan dan pemanfaatan yang kewenangannya diserahkan kepada Kementerian Kehutanan, dengan hak atas tanah berupa penguasaan dan pemilikan yang kewenangannya diserahkan kepada Kemenerian Agraria dan tata Ruang.
3. Direktorat Jenderal Registrasi dan Pendaftaran Tanah Nasional. Tugas pokok Dirjen ini adalah meregistrasi (mencatat) hak atas tanah masyarakat secara aktif, baik tanah individu, kolektif, maupun komunal wilayah adat, di kawasan hutan maupun non-kawasan hutan. Pelaksanaan pengukuran dan pemetaan tanah, serta penerbitan sertipikat adalah bersifat lanjutan. Hal mendasar yang paling diperlukan dalam perlindungan hukum atas tanah ulayat adalah registrasi hak atas tanah, dan bukan sertipikasi tanah, ini agar terantisipasi peralihan hak dan pasar tanah dari tanah ulayat yang akan jatuh kepada pihak ketiga. Agar sinergi dengan Dirjen reforma Agraria, Dirjen ini juga bertugas melakukan pengendalian hak atas tanah agar tidak terjadi konstentrasi tanah di sebagian pihak dan terminimalisirnya penelantaran tanah.
4. Direktorat Jenderal Tata Ruang. Dirjen ini melakukan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang serta peralihan penggunaannya. Ia memiliki otoritas penuh dan terpadu yang mengintegrasikan kewenangan yang selama ini terpisah-pisah seperti Ijin Peralihan Penggunaan Tanah (BPN), Rencana Tata Ruang Wilayah (PU/Pemda), dan ijin penggunaan tanah seperti IUP (Pemda). Dengan keterpaduan ini maka ada kesinambungan antara bidang dengan ruang, serta antara hak dengan fungsi. Keterpaduan ini mensyaratkan adanya kebijakan satu peta yang terpadu (one map policy). Harmonisasi, sinkronisasi, dan koordinasi sektoral dalam hal penyusunan peta dan kebijakan. Kemeterian lain hanya akan mengurusi fungsi atas tanah (pemanfaatan dan penggunaan tanah dan ruang) berdasarkan perencanaan dan pemetaan yang terpadu tersebut.
5. Panitia Nasional. Selain keberadaan Direktorat Jenderal, diperlukan organ lain berupa Panitia Nasional seperti panitia pendaftaran bidang tanah yang telah terdata saat ini (sekitar 82 juta bidang tanah) yang akan diselesaian secara terencana (10-15 tahun), dan panitia-panitia nasional lain yang diperlukan yang bersifat ad hoc. Di masa lalu pelaksanaan landreform dijalankan oleh panitia nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden RI, Soekarno. Ini merupakan pengalaman yang sangat penting dan berharga untuk dilaksanakan kembali pada periode sekarang.
6. Badan-badan. Perlu ada perubahan mendasar mengenai kepegawaian di Kementerian ini dengan menyediakan pegawai yang bukan hanya unsur pelaksana namun sebagai unsur peneliti dan penyedia data. Pelaksanaan penelitian dan pengkajian tidak hanya terpusat namun juga ada di wilayah-wilayah propinsi (kanwil). Tugasnya adalah meneliti dan menyediakan data untuk men-support kebutuhan Direktorat Jenderal, seperti data mengenai ketimpangan penguasaan tanah (yang memiliki dan tidak memiliki tanah), obyek tanah yang akan di-reform; data sengketa-konflik dan potensinya yang bisa diperoleh secara aktif melalui penelitian langsung, pemberitaan media massa maupun yang dilaporkan; pengkajian regulasi yang tumpang tindih; pengkajian peta yang tidak terpadu; pengkajian mengenai bidang tanah yang telah terdaftar dan yang belum terdaftar (proporsi antara yang telah diukur, dipetakan, didaftar, dan dikeluarkan bukti haknya). Juga adanya perguruan tinggi yang mendidik generasi-generasi baru yang memahami perspektif dan kompleksitas keagrariaan dan ketataruangan. Oleh sebab itu diperlukan (1) badan pusat data dan informasi pertanahan; (2) badan pelaksana penelitian di pusat dan terdesentralisir di kanwil-kanwil; (3) badan hubungan masyarakat di pusat dan di kanwil-kanwil; (4) badan pusat pengkajian hukum dan kemasyarakatan adat; (5) Institute Agraria dan Tata Ruang. Sedangkan fungsi pengawasan dan administrasi ada di bawah inspektorat utama dan wilayah serta Sekretaris Jenderal.
D. Penutup
Perubahan kementerian ini harus dapat melampaui kerumitan manajerialisme dalam organisasi serta kepentingan sempit soal pergantian posisi, jabatan, level eselon para pelaksananya. Inilah saatnya merekonstruksi kelembagaan baru dengan semangat kesejahteraan rakyat melalui pelaksanaan reforma agraria, dan niatan kuat mengakhiri sektoralisme agraria atau dualisme administrasi pertanahan yang ada selama ini. Di sini diuji apakah kesempatan ini akan menjadi momentum meletakkan dasar-dasar perubahan lembaga negara yang akan bermanfaat untuk masa kini dan mendatang ataukah berhenti pada kepentingan sesaat dan ritual politik lima tahunan belaka. (19-11-2014)