Senin, 23 Desember 2013

Eksklusi dan Inklusi sebagai Dua Sisi Mata Uang



Ahmad Nashih Luthfi


Review Buku
Judul: Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia
Penulis: Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li
Penerbit: National University of Singapore
Tahun terbit: 2011
Halaman: 257 hlm


The powers of exclusion



Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (selanjutnya disebut “HHL”) dalam buku berjudul The powers of exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia ini, menunjukkan bahwa globalisasi dan proses eksklusi bukanlah hal baru. Ditulis secara kombinatif oleh tiga sarjana terkemuka, Hall seorang ilmuwan politik Wilfrid Laurier University yang baru-baru ini juga menerbitkan buku berjudul Land (2013); Hirsch seorang ahli geografi di University of Sydney dan direktur Australian Mekong Resource Centre; sementara Tania Li adalah antropolog di University of Toronto sekaligus direktur pada Canada Research Chair in Political Economy and Culture in Asia-Pacific yang telah menerbitkan beberapa buku dan tulisan yang dihasilkannya dari penelitian di Indonesia, dengan bukunya ini mereka bertujuan menunjukkan powers yang bekerja di ruang geografis-sejarah dan konjunktur masyarakat Asia Tenggara yang berubah dari waktu ke waktu. Juga ditunjukkannya processes, actors yang terlibat dan dampak bagi mereka (baik yang kalah maupun yang menang), dan bentuk-bentuk counter atas eksklusi yang terjadi. Di sinilah mereka mengeksplorasi bagaimana dan mengapa berbagai kenyataan di atas muncul, apa kekuasaan (power) yang bekerja dalam transformasi itu, siapa aktor yang mendorong atau melawan perubahan yang terjadi pada relasi pertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditimbulkan dari perubahan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan waktu.



Untuk mengarahkan pembacaan di atas, mereka memfokuskan pada berbagai cara yang berubah yang mengakibatkan penduduk ter-eksklusi dari akses atas tanah. Mereka menggunakan terminologi “exclusion” yang dihubungankan dengan konsep akses. Akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (bundle of rights). Dalam pengertian akses semacam ini maka kekuasan diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. (Ribot dan Peluso 2003). Cara melihat akses atas tanah yang beralih dari cara pandang hak (right) menuju kekuasaan (power) dapat menjelaskan proses perolehan tanah untuk kepentingan pasar. Dalam pengertian inilah maka ketereksklusian, inklusi, atau security semestinya dibaca. 

Selengkapnya, silahkan unduh: pdf

Setengah Abad Pendidikan Agraria Indonesia



Setengah Abad Pendidikan Agraria Indonesia




Tahun 1963 Akademi Agraria didirikan di Yogyakarta. Tiga puluh tahun kemudian, ia berubah menjadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Dihitung sejak tahun berdirinya itu, maka pada tahun 2013 lembaga pendidikan agraria ini memasuki usia setengah abad. Sebagai perguruan tinggi kedinasan, perubahan dari “agraria” menjadi “pertanahan” melewati banyak cerita, bukan hanya kelembagaan-pendidikan namun ia mersenonansi naik turunnya arah politik, pembangunan ekonomi, dan perubahan sosial.

Kemerdekaan Indonesia Jilid Dua

Pada seputaran tahun 1960-an itu, ada beberapa peristiwa yang bukan hanya perlu dicatat, tetapi menjadi tapal batas perjalanan sejarah Indonesia selanjutnya. Tahun 1960 menjadi pemulai dari kemerdekaan Indonesia jilid kedua, dimana Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan jilid pertamanya yang merupakan deklarasi kemerdekaan secara politik (revolusi politik). Jilid kedua ini ditempuh melalui jalan revolusi sosial-ekonomi, lahirnya Indonesia baru menuju “Sosialisme ala Indonesia”. Visi keindonesiaan macam inilah yang mendasari lahirnya Undang-undang No. 2 tahun 1960 (Perjanjian Bagi Hasil), Undang-undang No. 5 tahun 1960 (Pokok-pokok Agraria), disusul dengan PP no 224 tentang Landreform yang secara simbolis dicanangkan melalui “Ajunan Tjangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berentjana”, pada 1 Januari 1961.


Demikianlah yang diniatkan oleh pemerintah Indonesia kala itu. Melalui kata-kata Presiden Soekarno, “Ini adalah suatu kemadjuan jang penting-maha-penting dalam Revolusi Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama sadja dengan gedung tanpa alas, sama sadja dengan pohon tanpa batang, sama sadja dengan omong-besar tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksananakan satu bagian jang mutlak dari Revolusi Indonesia”. 

Agenda utama landreform secara sosial memiliki arti perombakan struktur sosial berbasis penguasaan tanah; secara politik mentransformasikan warganegara yang semula adalah warga tempatan yang terikat dalam hubungan feodal-kolonial atas tanah, serta tumbuhnya kesadaran politik warga; dan secara ekonomi merupakan peletakan dasar alat produksi bagi tenaga kerja dan pemerataannya (penetapan batas maksimum) menuju negara industrial berbasis pembangunan desa. Visi keindonesiaan dalam imajinasi pembangunan semesta berencana itu berakar dari kondisi riil rakyat Indonesia, bukan diturunkan secara demagogis. Tragisnya, cita-cita itu kabur. Dijalankan oleh rejim yang mulai meredup oleh pertentangan politik internal maupun gempuran eksternal Perang Dingin, Kemerdekaan Jilid Dua ini menjadi samar-samar. Aksi-aksi counter-reform skala lokal hingga naik di level kebijakan partai politik yang ada saat itu, berujung pada kompromi. Bahkan sejak UUPA 1960 dirumuskan.


UUPA 1960 yang Kompromistik?

UUPA 1960 bukanlah bersifat sosialis, juga kapitalis. Ia dikatakan bersifat Pancasilais, namun apakah artinya ini? Jika menyimak pasal demi pasal UUPA, banyak kompromi di dalamnya. Hukum tanah UUPA didasarkan pada hukum adat dan mengindahkan nilai agama (pasal 5), dimana di dalam kedua hukum ini hak milik komunal dan pribadi diakui; tanah memiliki fungsi sosial (pasal 6); dan masih ditemuinya dimensi kapitalistik di dalamnya berupa Hak Guna Usaha oleh badan usaha pemerintah dan perusahaan (pasal 28).  Meski UUPA telah memutuskan mencabut prinsip-prinsip regulasi tanah kolonial yang liberal dan kapitalistik, ternyata ia masih menyisakan celah di dalamnya dalam bentuk HGU. Sedikit penyesuaian dilakukan, berupa jangka waktu sewa (semula 75 menjadi 25) dan pemegang hak hanya oleh warga negara Indonesia.

UUPA memungkinkan terjadinya landlordism dengan tidak ditetapkannya batas maksimum penguasaan tanah HGU. Terbukti, lebih dari setengah abad kemudian, terjadi ketimpangan penguasaan yang semakin akut. Tanah untuk pembangunan perkebunan skala besar meluas secara cepat dari tahun ke tahun, hingga tahun 2015 rencananya dialokasikan 20 juta ha lahan untuk perkebunan sawit yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perkebunan terus dibuka, sementara yang telah ada menimbulkan konflik dan penelantaran tanah yang takberkesudahan. Tanah kehutanan dikontrol oleh Kementerian Kehutanan seluas 147 juta hektar yang diberikan ijin konsesinya kepada ribuan unit perusahaan dengan masing-masing menguasai puluhan ribu hektar, bahkan ratusan ribu. Di kawasan itu terdapat 31.957 desa yang berada di “dalam” atau “sekitar” kawasan hutan yang 71,06% menggantungkan hidupnya dari hutan. Mayoritas penduduknya dalam kondisi miskin dan terancam dengan tuduhan “perambah” atau pelaku kriminal tatkala mengakses hasil-hasil hutan. Sebagai konsekuensi dari kebijakan alokasi tanah itu, maka penggureman tanah berlangsung, ketunakismaan tanah semakin akut, dan deagrarianisasi populasi menjadi pemandangan yang lazim.

Sebagian pihak memaknai UUPA 1960 hanya bersifat “pokok-pokok”, yang detail peraturannya ditentukan kemudian, termasuk aturan yang mengecilkan peluang-peluang kembalinya sifat liberal dan kapitalistik di atas. Sifat kemendesaakan UUPA 1960 dalam situasi dan kondisi yang agaknya seperti disegerakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 yang “hal-hal mengenai pemindahan kekoeasaan dll. diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh sesingkat-singkatnja”. Urgensitas UUPA masa itu bukan pada legal drafting, mengingat ia dirumuskan sejak 1948 dan baru dinyatakan pada tahun 1960, namun pada situasi sosial-ekonomi-politik yang berakumulasi pada penghujung tahun 1950-an. Pasca 1965, justru rejim baru Soeharto melakukan cara-cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya dalam menafsirkan ulang UUPA; membelahnya dalam dua bagian (satu bagian dari awal hingga pasal 15 seakan-akan mencerminkan Orde Lama, dan bagian kedua mulai pasal 16 dan seterusnya mencerminkan Orde Baru); hingga memandulkannya melalui lahirnya UU Pokok Kehutanan dan UU Penanaman Modal pada tahun 1967. Dimulailah episode baru dimana agraria dan sumber daya alam disektoralisasi untuk memudahkan keluarnya ijin konsesi dan penetapan jenis haknya. Agraria dirubrikasi sebagai tanah, hutan, air, pertanian, perkebunan, yang masing-masingnya dikelola oleh lembaga pemerintah yang berlainan. Kondisi dan pergeseran-pergeseran tafsir atas UUPA 1960 semacam itulah yang menempatkan UUPA sebagai UU dengan “identitas yang terbelah” atau “kompromistis”. Di kemudian hari muncul tuntutan dilakukannya amandemen terhadapnya, secara parsial maupun menyeluruh.

Bukan (hanya) Sertifikasi Tanah

Terlepas dari kontroversi identitas UUPA 1960 di atas, Undang Undang Pokok ini memiliki lima misi utama berikut: (1) Perombakan Hukum Agraria, (2) Pelaksanaan Landreform, (3) Penataan Penggunaan Tanah, (4) Likuidasi Hak-hak Asing dalam Bidang Agraria, (5) Penghapusan Sisa-sisa Feudal dalam Bidang Agraria. Akademi Agraria yang kelahirannya tidak terlepas  dari lahirnya UUPA 1960, dengan demikian mengemban misi ideal itu.

Untuk melaksanakan PP Landreform 1961, perlu segera dilakukan serangkaian kebijakan. Di antaranya adalah pembentukan pengadilan landreform (beranggotakan personil pengadilan negeri ditambah pakar dan perwakilan organisasi tani), panitia pelaksana landreform (birokrasi dan anggota partai nasional hingga lokal), pendanaan landreform (berbentuk yayasan), dan pendataan untuk menetapkan subyek dan obyek landreform.  Dalam hal terakhir diperlukan tenaga-tenaga spesifik dan handal yang bersama-sama panitia landreform memahami siapa yang layak ditetapkan sebagai subyek landreform dan tanah mana yang pantas dimasukkan sebagai obyeknya, hingga melakukan tugas mengukur dan mendaftar legalitasnya. Sayangnya, Indonesia belum memiliki tenaga tersebut. Saat itu yang ada hanyalah pencatat akta tanah di bawah menteri kehakiman, yang mewarisi sistem kenotariatan Belanda. Memang bentuk peraturan mengenai pertanahan termasuk peraturan pemerintah kala itu masih dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri Muda Kehakiman. Kebijakan itu ditempuh karena Indonesia masih dalam keadaan darurat. Lahirnya UUPA-lah yang sekaligus memberi peran vital Departemen Agraria di bawah naungan Menteri Kompartemen Agraria yang dipimpin oleh Mr. Sadjarwo, membawahi departemen kehutanan, perkebunan, dan pertanian.  

Untuk mengisi keperluan di ataslah, maka pada tahun 1963 didirikan Akademi Agraria di Yogyakarta dengan Jurusan Agraria, menyusul dibukanya Jurusan Pendaftaran Tanah di Semarang pada 1964. Mahasiswa Akademi diberi pemahaman baik tentang aspek keagrarian maupun aspek teknis pengukuran dan pendaftaran tanah. Sejak awal, lembaga pendidikan ini tidak memisahkan kedua aspek tersebut, apalagi menetapkan persentase pengetahuan antara yang aspek praktis dan teoretis, dimana keduanya adalah penting dan niscaya (praxis).

Pada dasarnya, sejarah Akademi Agraria adalah sejarah atas lima misi di atas, bukan (hanya) sejarah sertifikasi tanah. Program sertifikasi hanyalah aktifitas lanjutan untuk melegalkan kepastian penguasaan dan kepemilikan tanah rakyat yang sebelumnya diperoleh melalui landreform. Jadi, bukan sertifikat itu sendirilah yang menjadi tugas utamanya. Ia hanyalah konsekuensi dari landreform. Mahasiswa Agraria harus memahami masalah-masalah agraria serta ditantang memikirkan kebijakan macam apa yang tepat untuk mencari jalan keluar atas masalah tersebut. Sebagai contoh, mereka perlu membedakan antara “kepemilikan tanah” sebagai proses dan sebagai produk. Sertifikasi adalah proses lanjutan atas “terbentuknya” kepemilikan baru atas tanah (property).  Kepemilikan mempunyai riwayat, asal-usul, dan dalam suatu proses tertentu. Proses seseorang mendapatkan tanah yang kemudian dikukuhkan haknya oleh lembaga pertanahan (dalam bentuk ijin ataupun hak) bisa diperoleh melalui (re)distribusi (landreform), hibah, perampasan tanah secara legal ataupun ilegal, ataupun pasar tanah (jual-beli). Maka, menjadi penting bagi pelajar pendidikan agraria dididik untuk memahami asal-usul kepemilikan dan penguasaan tanah (tenurial) tersebut, bukan (hanya) diajarkan terampil mengerjakan prosedur dan mekanisme peralihan dan pendaftarannya dalam bentuk dokumen modern (land titling). Jika tidak demikian, maka mereka hanya akan menjadi pelaksana administrasi pertanahan yang begitu saja mengukur dan mensertifikasi tanah tanpa peduli bagaimana proses tanah tersebut diperoleh, diklaim, dan dihaki; oleh siapa dan dengan cara meniadakan siapa. Akademi Agraria yang saat ini menjadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan notabene adalah satu-satunya lembaga pendidikan khusus tentang agraria dan pertanahan di Indonesia, tidak boleh abai memahami kenyataan tersebut, sebab jika bukan lembaga ini maka siapa lagi yang menjalankan mandat tersebut?

Pada Masa Orde Baru, lembaga pendukung utama pelaksanaan landreform boleh dilolosi (pengadilan landreform dihapuskan melalui UU no 7/1970; pengelolaan dana yayasan landreform terus dipertanyakan akuntabilitasnya—pemasukan negara dari uang sewa, ganti rugi, dll. menyisakan tanya; panitia landreform dibubarkan seiring depolitisasi organisasi massa—landreform menjadi program (bukan agenda utama) sejajar dengan program-program lain dalam Departemen Dalam Negeri); namun lembaga pendidikan agraria harus terus tegak berdiri memenuhi mandat historis dan tantangan-tantangan masa depan.

Satu Abad Pelanggaran Hak

Pada awal abad 20, jauh-jauh hari sebelum negeri ini memiliki lembaga pendidikan khusus keagrarian dan pertanahan, muncul seorang ilmuwan yang melalui kajiannya atas hukum adat menggugat dasar-dasar negara terhadap penguasaan sumberdaya agraria. Ia adalah van Vollenhoven yang secara kritis mempertanyakan konsep teritori negara (domein verklaring). Ia menyatakan prinsip kepemilikan negara itu sebagai bentuk kekerasan; disebutnya sebagai “satu abad pelanggaran hak” sebab menafikan hak-hak pribumi atas tanah. Menurutnya, tanah adat atau tanah masyarakat yang dalam dokumen resmi pemerintah Kolonial dikategorikan sebagai “tanah liar” atau “tanah kosong” itu sebenarnya adalah apa yang disebutnya sebagai “beschikkingsrecht”. Beschikkingsrecht ini tidak dikenal dan diakui oleh hukum Barat, Bugerlijk Wetboek. Traktat ini hanya mengenal 3 jenis hak, yakni eerfelijk  individueel bezitrecht (hak milik individual yang bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik komunal), dan gebruiksaandelen in communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan pemakaian bergiliran). Di kemudian hari beschikkingsrecht ini diterjemahkan sebagai  “hak pertuanan” (menurut Prof. Soepomo), “hak purba” (Prof. Djojodigoeno), “hak menguasai” (Prof. Notonagoro), dan “hak ulayat/adat” (UUPA 1960) yang kesemuanya merujuk pada aspek tenurial oleh masyarakat pribumi. Setengah abad kemudian, tepatnya 1975, naskah gugatan van Vollenhoven itu diterjemahkan dan diterbitkan sebagai “Orang Indonesia dan Tanahnya”, oleh Departemen Dalam Negeri melalui Institute Ilmu Pemerintahan dalam rangka pembukaan “Jurusan Agraria”.
           
Kini, setengah abad kemudian, kita perlu melihat kembali perjalanan lembaga pendidikan ini, apakah telah berada di dalam jalur genesis dan historisnya, ataukah telah keluar jauh bahkan berbalik arah. Kita perlu bertanya ulang, ke arah mana “Perombakan Hukum Agraria” yang dituju saat ini dihadapkan pada keragaman geografis, historis, dan budaya masyarakat Nusantara Indonesia? Jenis pendidikan agraria macam apakah yang perlu diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang mereka lahir dan hidup di tengah keragaman (sistem keagrariaan) daerahnya masing-masing? Tidak tepat jika terjadi penyeragaman pengetahuan dan sistem pengelolaan pertanahan di Nusantara tercinta ini. Khawatir, jika terulang lagi apa yang telah diingatkan jauh-jauh hari oleh van Vollenhoven itu, “satu abad pelanggaran hak”. Sudah sejak mula Indonesia lahir dengan keindahan keragamannya. Keragaman itu bukan hanya suku, etnik, agama, dan ras, namun lebih dari itu. Keragaman makhluk bernama manusia dan alam raya seisinya; yang mereka berinteraksi satu sama lain dalam tata hubungan yang kita sebut sebagai relasi keagrariaan, atau lebih luas adalah hubungan alam raya. Dan bukankah nature, that is about all art? Ia tidak pantas direduksi dalam kategori-kategori administratif. Lembaga pendidikan agraria perlu mengembangkan pendidikan pluralistik keagrariaan yang tercermin dalam relasi sosial dan belajar-mengajar sivitas akademikanya, kurikulum, dan kebijakan pertanahan yang dirumuskan.

Menengok kembali setengah abad berjalan, di mana letak “Kebijakan Landreform” dan pengetahuan yang diajarkan tentangnya? Apakah kebijakan pertanahan “landreform” selama ini berlangsung dengan cara distributif (dari “tanah negara” menuju tunakisma—tanah terlantar misalnya); redistributif  (diambil dari tuan tanah/kelebihan maksimum untuk dibagi kembali kepada tunakisma);  rekonsentratif  (tanah negara atau tanah rakyat untuk tuan tanah/perusahaan—HGU, PIR BUN, pengadaan tanah elit contohnya); ataukah non-(re)distributif dimana kebijakan pertanahan berlangsung tanpa adanya kebijakan (re)distribusi, sehingga kondisi ketimpangan tetap berlangsung.  Demikian pula bagaimana menghadapi masalah “Penataan Tanah”, porsi antara yang ditata untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, tata wilayah perkotaan, dan infrastruktur. Juga semakin intensifnya penguasaan tanah oleh kapital (subyek) asing (dengan perijinan ataupun kamuflase hak) ataupun modal domestik skala luas; serta “naiknya para raja dan raja-raja kecil” disertai klaim-klaim feodal atas tanahnya seiring dengan berlangsungnya otonomi daerah dan politik desentralisasi.

Setengah abad Akademi Agraria atau duapuluh tahun Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional menjadi momentum yang tepat untuk memikirkan kembali kelima misi UUPA di atas yang sekaligus adalah misi utama lembaga pendidikan agraria. Pertanyaan itu bermuara pada salah satu dasar kita berbangsa dan bernegara ini: semakin dekatkah kita selama setengah abad ini menuju cita-cita “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, ataukah justru semakin jauh? Melalui pendidikan dan pengetahuan, lembaga pendidikan agraria Indonesia ini memiliki tugas untuk menjawabnya.

Dirgahayu Akademi Agraria, dirgahayu Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional!

Yogyakarta, tempat lahirnya pendidikan agraria Indonesia, 04 Maret 2013

Ahmad Nashih Luthfi

(tulisan dimuat di majalah Sandi, edisi XXXV-2013)