Setengah Abad Pendidikan Agraria Indonesia
Tahun 1963
Akademi Agraria didirikan di Yogyakarta. Tiga puluh tahun kemudian, ia berubah menjadi Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional. Dihitung sejak tahun berdirinya itu, maka pada tahun 2013 lembaga
pendidikan agraria ini memasuki usia setengah abad. Sebagai perguruan tinggi kedinasan, perubahan dari “agraria” menjadi “pertanahan” melewati
banyak cerita, bukan hanya kelembagaan-pendidikan namun ia mersenonansi naik turunnya
arah politik, pembangunan ekonomi, dan perubahan sosial.
Kemerdekaan Indonesia Jilid Dua
Pada seputaran
tahun 1960-an itu, ada beberapa peristiwa yang bukan hanya perlu dicatat,
tetapi menjadi tapal batas perjalanan sejarah Indonesia selanjutnya. Tahun 1960
menjadi pemulai dari kemerdekaan Indonesia jilid kedua, dimana Proklamasi
Kemerdekaan 1945 merupakan jilid pertamanya yang merupakan deklarasi
kemerdekaan secara politik (revolusi politik). Jilid kedua ini ditempuh melalui
jalan revolusi sosial-ekonomi, lahirnya Indonesia baru menuju “Sosialisme ala
Indonesia”. Visi keindonesiaan macam inilah yang mendasari lahirnya Undang-undang
No. 2 tahun 1960 (Perjanjian Bagi Hasil), Undang-undang No. 5 tahun 1960 (Pokok-pokok
Agraria), disusul dengan PP no 224 tentang Landreform yang secara simbolis dicanangkan
melalui “Ajunan Tjangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berentjana”, pada 1 Januari 1961.
Demikianlah
yang diniatkan oleh pemerintah Indonesia kala itu. Melalui kata-kata Presiden
Soekarno, “Ini adalah suatu kemadjuan jang penting-maha-penting dalam Revolusi
Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama sadja dengan gedung
tanpa alas, sama sadja dengan pohon tanpa batang, sama sadja dengan omong-besar
tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksananakan satu bagian jang
mutlak dari Revolusi Indonesia”.
Agenda utama landreform secara sosial memiliki arti perombakan
struktur sosial berbasis penguasaan tanah; secara politik mentransformasikan
warganegara yang semula adalah warga tempatan yang terikat dalam hubungan feodal-kolonial
atas tanah, serta tumbuhnya kesadaran politik warga; dan secara ekonomi
merupakan peletakan dasar alat produksi bagi tenaga kerja dan pemerataannya (penetapan
batas maksimum) menuju negara industrial berbasis pembangunan desa. Visi
keindonesiaan dalam imajinasi pembangunan semesta berencana itu berakar dari
kondisi riil rakyat Indonesia, bukan diturunkan secara demagogis. Tragisnya, cita-cita itu kabur.
Dijalankan oleh rejim yang mulai meredup oleh pertentangan politik internal
maupun gempuran eksternal Perang Dingin, Kemerdekaan Jilid Dua ini menjadi
samar-samar. Aksi-aksi counter-reform
skala lokal hingga naik di level kebijakan partai politik yang ada saat itu,
berujung pada kompromi. Bahkan sejak UUPA 1960 dirumuskan.
UUPA 1960 yang Kompromistik?
UUPA 1960
bukanlah bersifat sosialis, juga kapitalis. Ia dikatakan bersifat Pancasilais, namun apakah
artinya ini? Jika menyimak pasal demi pasal UUPA, banyak kompromi di dalamnya. Hukum
tanah UUPA didasarkan pada hukum adat dan mengindahkan nilai agama (pasal 5),
dimana di dalam kedua hukum ini hak milik komunal dan pribadi diakui; tanah
memiliki fungsi sosial (pasal 6); dan masih ditemuinya dimensi kapitalistik di
dalamnya berupa Hak Guna Usaha oleh badan usaha pemerintah dan perusahaan
(pasal 28). Meski UUPA telah memutuskan
mencabut prinsip-prinsip regulasi tanah kolonial yang liberal dan kapitalistik,
ternyata ia masih menyisakan celah di dalamnya dalam bentuk HGU. Sedikit
penyesuaian dilakukan, berupa jangka waktu sewa (semula 75 menjadi 25) dan
pemegang hak hanya oleh warga negara Indonesia.
UUPA
memungkinkan terjadinya landlordism
dengan tidak ditetapkannya batas maksimum penguasaan tanah HGU. Terbukti, lebih
dari setengah abad kemudian, terjadi ketimpangan penguasaan yang semakin akut. Tanah untuk pembangunan perkebunan skala besar meluas
secara cepat dari tahun ke tahun, hingga tahun 2015 rencananya dialokasikan 20 juta ha lahan untuk
perkebunan sawit yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perkebunan terus dibuka, sementara
yang telah ada menimbulkan konflik dan penelantaran tanah yang takberkesudahan.
Tanah kehutanan dikontrol oleh Kementerian
Kehutanan seluas 147 juta hektar yang diberikan ijin konsesinya kepada ribuan
unit perusahaan dengan masing-masing menguasai puluhan ribu hektar, bahkan
ratusan ribu. Di kawasan itu terdapat 31.957 desa yang berada di “dalam” atau “sekitar” kawasan hutan yang
71,06% menggantungkan hidupnya dari hutan. Mayoritas penduduknya dalam kondisi
miskin dan terancam dengan tuduhan “perambah” atau pelaku kriminal tatkala
mengakses hasil-hasil hutan. Sebagai konsekuensi dari kebijakan alokasi tanah
itu, maka penggureman tanah berlangsung, ketunakismaan tanah semakin akut, dan
deagrarianisasi populasi menjadi pemandangan yang lazim.
Sebagian pihak
memaknai UUPA 1960 hanya bersifat “pokok-pokok”, yang detail peraturannya
ditentukan kemudian, termasuk aturan yang mengecilkan peluang-peluang
kembalinya sifat liberal dan kapitalistik di atas. Sifat kemendesaakan UUPA
1960 dalam situasi dan kondisi yang agaknya seperti disegerakannya Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 1945
yang “hal-hal mengenai pemindahan kekoeasaan dll. diselenggarakan dengan tjara
saksama dan dalam tempoh sesingkat-singkatnja”. Urgensitas UUPA masa itu bukan
pada legal drafting, mengingat ia
dirumuskan sejak 1948 dan baru dinyatakan pada tahun 1960, namun pada situasi
sosial-ekonomi-politik yang berakumulasi pada penghujung tahun 1950-an. Pasca
1965, justru rejim baru Soeharto melakukan
cara-cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya dalam menafsirkan
ulang UUPA; membelahnya dalam dua bagian (satu bagian dari awal hingga pasal 15
seakan-akan mencerminkan
Orde Lama, dan bagian kedua mulai
pasal 16 dan seterusnya mencerminkan Orde
Baru); hingga memandulkannya melalui lahirnya UU Pokok Kehutanan dan UU
Penanaman Modal pada tahun 1967. Dimulailah episode baru dimana agraria dan
sumber daya alam disektoralisasi untuk memudahkan keluarnya ijin konsesi dan
penetapan jenis haknya. Agraria dirubrikasi sebagai tanah, hutan, air, pertanian,
perkebunan, yang masing-masingnya dikelola oleh lembaga pemerintah yang
berlainan. Kondisi dan pergeseran-pergeseran tafsir
atas UUPA 1960 semacam itulah yang menempatkan UUPA sebagai UU dengan
“identitas yang terbelah” atau “kompromistis”. Di kemudian
hari muncul tuntutan dilakukannya amandemen terhadapnya,
secara parsial maupun menyeluruh.
Bukan (hanya) Sertifikasi Tanah
Terlepas dari kontroversi identitas UUPA
1960 di atas, Undang Undang Pokok ini memiliki lima misi utama berikut: (1)
Perombakan Hukum Agraria, (2) Pelaksanaan Landreform, (3) Penataan Penggunaan
Tanah, (4) Likuidasi Hak-hak Asing dalam Bidang Agraria, (5) Penghapusan Sisa-sisa
Feudal dalam Bidang Agraria. Akademi Agraria yang kelahirannya tidak
terlepas dari lahirnya UUPA 1960, dengan
demikian mengemban misi ideal itu.
Untuk
melaksanakan PP Landreform 1961, perlu segera dilakukan serangkaian kebijakan.
Di antaranya adalah pembentukan
pengadilan landreform (beranggotakan personil pengadilan negeri ditambah pakar
dan perwakilan organisasi tani), panitia pelaksana landreform (birokrasi dan
anggota partai nasional hingga lokal), pendanaan landreform (berbentuk yayasan),
dan pendataan untuk menetapkan subyek dan obyek landreform. Dalam hal terakhir diperlukan tenaga-tenaga
spesifik dan handal yang bersama-sama panitia landreform memahami siapa yang layak
ditetapkan sebagai subyek landreform dan tanah mana yang pantas dimasukkan
sebagai obyeknya, hingga
melakukan tugas mengukur dan mendaftar legalitasnya. Sayangnya, Indonesia belum
memiliki tenaga tersebut. Saat itu yang ada hanyalah pencatat akta tanah di
bawah menteri kehakiman, yang mewarisi sistem kenotariatan Belanda. Memang bentuk
peraturan mengenai pertanahan termasuk peraturan pemerintah kala itu masih
dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri Muda Kehakiman. Kebijakan itu ditempuh
karena Indonesia masih dalam keadaan darurat. Lahirnya UUPA-lah yang sekaligus
memberi peran vital Departemen Agraria di bawah naungan Menteri Kompartemen Agraria yang dipimpin oleh Mr. Sadjarwo, membawahi departemen kehutanan, perkebunan, dan pertanian.
Untuk mengisi
keperluan di ataslah,
maka pada tahun 1963 didirikan Akademi Agraria di Yogyakarta dengan Jurusan
Agraria, menyusul dibukanya Jurusan Pendaftaran Tanah di Semarang pada 1964.
Mahasiswa Akademi diberi pemahaman baik tentang aspek keagrarian maupun aspek
teknis pengukuran dan pendaftaran tanah. Sejak awal, lembaga pendidikan ini
tidak memisahkan kedua aspek tersebut, apalagi menetapkan persentase
pengetahuan antara yang aspek praktis dan teoretis, dimana keduanya adalah penting dan niscaya (praxis).
Pada dasarnya,
sejarah Akademi Agraria adalah sejarah atas lima misi di atas, bukan (hanya)
sejarah sertifikasi tanah. Program sertifikasi hanyalah aktifitas lanjutan untuk melegalkan kepastian penguasaan
dan kepemilikan tanah rakyat yang sebelumnya diperoleh melalui landreform. Jadi, bukan sertifikat itu sendirilah yang menjadi tugas utamanya. Ia
hanyalah konsekuensi dari landreform. Mahasiswa Agraria harus memahami
masalah-masalah agraria serta ditantang memikirkan kebijakan macam apa yang
tepat untuk mencari jalan keluar atas masalah tersebut. Sebagai contoh, mereka
perlu membedakan antara “kepemilikan tanah” sebagai proses dan sebagai produk.
Sertifikasi adalah proses lanjutan atas
“terbentuknya” kepemilikan baru atas tanah (property). Kepemilikan mempunyai riwayat, asal-usul, dan
dalam suatu proses tertentu. Proses seseorang mendapatkan tanah yang kemudian
dikukuhkan haknya oleh lembaga pertanahan (dalam bentuk ijin ataupun hak) bisa
diperoleh melalui (re)distribusi (landreform), hibah, perampasan tanah secara legal ataupun
ilegal, ataupun pasar
tanah (jual-beli). Maka, menjadi penting bagi pelajar pendidikan agraria dididik untuk memahami asal-usul
kepemilikan dan penguasaan tanah (tenurial)
tersebut, bukan (hanya) diajarkan terampil mengerjakan prosedur dan mekanisme
peralihan dan pendaftarannya dalam bentuk dokumen modern (land titling). Jika tidak demikian, maka mereka
hanya akan menjadi pelaksana administrasi pertanahan yang begitu saja mengukur
dan mensertifikasi tanah tanpa peduli bagaimana proses tanah tersebut
diperoleh, diklaim, dan dihaki; oleh siapa dan dengan cara meniadakan siapa. Akademi
Agraria yang saat ini menjadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan notabene
adalah satu-satunya lembaga pendidikan khusus tentang agraria dan pertanahan di
Indonesia, tidak boleh abai memahami kenyataan tersebut, sebab jika bukan
lembaga ini maka siapa lagi yang menjalankan mandat tersebut?
Pada Masa Orde Baru, lembaga pendukung utama pelaksanaan
landreform boleh dilolosi (pengadilan landreform dihapuskan melalui UU no
7/1970; pengelolaan dana yayasan landreform terus dipertanyakan
akuntabilitasnya—pemasukan negara dari uang sewa, ganti rugi, dll. menyisakan
tanya; panitia landreform dibubarkan seiring depolitisasi organisasi
massa—landreform menjadi program (bukan agenda utama) sejajar dengan
program-program lain dalam Departemen Dalam Negeri); namun lembaga pendidikan
agraria harus terus tegak berdiri memenuhi mandat historis dan tantangan-tantangan
masa depan.
Satu Abad Pelanggaran Hak
Pada awal abad
20, jauh-jauh hari sebelum negeri ini memiliki lembaga pendidikan
khusus keagrarian dan pertanahan, muncul seorang ilmuwan yang melalui kajiannya
atas hukum adat menggugat dasar-dasar negara terhadap penguasaan sumberdaya
agraria. Ia adalah van
Vollenhoven yang secara kritis mempertanyakan konsep teritori negara (domein verklaring). Ia menyatakan prinsip kepemilikan negara itu sebagai bentuk kekerasan; disebutnya sebagai “satu abad pelanggaran hak” sebab menafikan
hak-hak pribumi atas tanah. Menurutnya, tanah adat atau tanah masyarakat yang dalam dokumen resmi pemerintah Kolonial
dikategorikan sebagai “tanah liar” atau “tanah kosong” itu sebenarnya adalah apa yang disebutnya sebagai “beschikkingsrecht”.
Beschikkingsrecht ini tidak dikenal
dan diakui oleh hukum Barat, Bugerlijk
Wetboek. Traktat ini hanya mengenal 3 jenis hak, yakni eerfelijk individueel bezitrecht
(hak milik individual yang bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik komunal), dan gebruiksaandelen in communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan
pemakaian bergiliran). Di kemudian hari beschikkingsrecht
ini diterjemahkan sebagai “hak
pertuanan” (menurut Prof. Soepomo), “hak purba” (Prof. Djojodigoeno), “hak
menguasai” (Prof. Notonagoro), dan “hak ulayat/adat” (UUPA 1960) yang
kesemuanya merujuk pada aspek tenurial oleh masyarakat pribumi. Setengah abad kemudian, tepatnya 1975, naskah gugatan van Vollenhoven itu
diterjemahkan dan diterbitkan sebagai “Orang Indonesia dan Tanahnya”, oleh
Departemen Dalam Negeri melalui Institute Ilmu Pemerintahan dalam rangka
pembukaan “Jurusan Agraria”.
Kini, setengah
abad kemudian, kita perlu melihat kembali perjalanan lembaga pendidikan ini, apakah telah berada di dalam jalur
genesis dan historisnya, ataukah telah keluar jauh bahkan berbalik arah. Kita
perlu bertanya ulang, ke arah mana “Perombakan Hukum Agraria” yang dituju saat
ini dihadapkan pada keragaman geografis, historis, dan budaya masyarakat
Nusantara Indonesia? Jenis pendidikan agraria macam apakah yang perlu diberikan
kepada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang mereka lahir dan hidup di
tengah keragaman (sistem keagrariaan) daerahnya masing-masing? Tidak tepat jika
terjadi penyeragaman pengetahuan dan sistem pengelolaan pertanahan di Nusantara
tercinta ini. Khawatir, jika terulang lagi apa yang telah diingatkan jauh-jauh
hari oleh van Vollenhoven itu, “satu abad pelanggaran hak”. Sudah sejak mula
Indonesia lahir dengan keindahan keragamannya. Keragaman itu bukan hanya suku,
etnik, agama, dan ras, namun lebih dari itu. Keragaman makhluk bernama manusia
dan alam raya seisinya; yang mereka berinteraksi satu sama lain dalam tata
hubungan yang kita sebut sebagai relasi keagrariaan, atau lebih luas adalah
hubungan alam raya. Dan bukankah nature,
that is about all art? Ia tidak pantas direduksi dalam kategori-kategori
administratif. Lembaga pendidikan agraria perlu mengembangkan pendidikan
pluralistik keagrariaan yang tercermin dalam relasi sosial dan belajar-mengajar
sivitas akademikanya, kurikulum, dan kebijakan pertanahan yang dirumuskan.
Menengok kembali setengah abad berjalan, di mana letak “Kebijakan
Landreform” dan pengetahuan yang diajarkan tentangnya? Apakah kebijakan
pertanahan “landreform” selama ini berlangsung dengan cara distributif (dari “tanah negara” menuju tunakisma—tanah terlantar
misalnya); redistributif (diambil dari tuan tanah/kelebihan maksimum untuk
dibagi kembali kepada tunakisma); rekonsentratif (tanah negara atau tanah rakyat untuk tuan
tanah/perusahaan—HGU, PIR BUN, pengadaan tanah elit contohnya); ataukah non-(re)distributif dimana kebijakan
pertanahan berlangsung tanpa adanya kebijakan (re)distribusi, sehingga kondisi
ketimpangan tetap berlangsung. Demikian
pula bagaimana menghadapi masalah “Penataan Tanah”, porsi antara yang ditata
untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, tata wilayah perkotaan, dan
infrastruktur. Juga semakin intensifnya penguasaan tanah oleh kapital (subyek)
asing (dengan perijinan ataupun kamuflase hak) ataupun modal domestik skala
luas; serta “naiknya para raja dan raja-raja kecil” disertai klaim-klaim feodal
atas tanahnya seiring dengan berlangsungnya otonomi daerah dan politik
desentralisasi.
Setengah abad Akademi Agraria atau duapuluh tahun Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional menjadi momentum yang tepat untuk memikirkan kembali
kelima misi UUPA di atas yang sekaligus adalah misi utama lembaga pendidikan agraria.
Pertanyaan itu bermuara pada salah satu dasar kita berbangsa dan bernegara ini:
semakin dekatkah kita selama setengah abad ini menuju cita-cita “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, ataukah justru semakin jauh? Melalui
pendidikan dan pengetahuan, lembaga pendidikan agraria Indonesia ini memiliki
tugas untuk menjawabnya.
Dirgahayu Akademi Agraria, dirgahayu Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional!
Yogyakarta, tempat lahirnya pendidikan agraria Indonesia, 04 Maret
2013
Ahmad Nashih Luthfi
(tulisan dimuat di majalah Sandi, edisi XXXV-2013)