Ulasan atas buku Laksmi A. Savitri,
“Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”
Ahmad Nashih Luthfi
1. Kebudayaan dan Perjuangan
Buku ini menunjukkan bahwa tidak
memadainya studi agraria dengan pendekatan ekonomi-politik (makro), dan
struktur sosial internal (dinamika kelas) berbasis penguasaan tanah (mikro).
Dibutuhkan pemahaman mengenai “ruang dan sejarah” yang didalamnya telah
dibangun identitas dan kebudayaan. Penulis menjamah Merauke dengan hasrat ini. Di
sini kita disodori pengetahuan mengenai konsep diri orang Merauke sebagai
Anim-Ha, totemisme, filosofi tanah sebagai mama atau ancestral-domain, yang mendasari hubungan mereka dengan sesama dan alamnya. Pihak perusahaan
dalam memuluskan megaproyeknya juga melakukan “pendekatan kebudayaan” secara manipulatif.
Akibatnya, orang Zanegi dan Domande dalam posisi kegalauan identitas: ketika
kehadiran perusahaan telah terlegitimasi secara adat, uang dan hape didapat,
namun mendapati rusa-rusa tak lagi bersahabat, dan makan untuk keluarga selalu
telat bahkan minggat. Untuk bisa menangkap siasat kebudayaan dan kegamangan
itu, sekali lagi, di sinilah diperlukan mata kebudayaan bagi penulis. Penulis
dengan yakin menyatakan “Kebudayaan” dapat menjadi strategi perjuangan
mempertahankan ruang hidup orang Merauke selanjutnya, sebagaimana dikutipnya, “Namik, nahisa, nahai anim, es anim, nahin, makan
dimatab oleb. Mabateme, wanangga es hanidnanggo. (Saudara‐saudara, mama‐mama, kakak‐kakak, adik‐adik, bapak‐bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu di
masa mendatang) (hlm. 94). Orang harus tetap memiliki tanah, agar bisa menanam;
dan bukankah menanam (cultuur) itulah
kebudayaan (culture)?
Saya mulai sering mendengar kalimat
perjuangan ini, dari lapangan maupun beberapa aktivis, juga Guru senior: jangan
jual tanah, menanam adalah melawan, berkoperasi. Kalimat ini menjadikan ranah
perjuangan dari yang semula lokal, nasional-global, kembali lagi ke lokal
sebagai ujung pangkalnya. Mencerminkan apakah pernyataan itu?
Pada bab penutup, kita ditunjukkan sosok
Polikarpus Balagaize menyatakan ini, dengan ia terus berkebun tanaman pangan.
“’Ini tanah hak saya’, katanya. Ia teguh bahwa dengan menanam ia tegaskan hak
kepemilikan atas tanahnya” (hlm. 83). Juga Melki Tomba dengan beragam sayuran
dan buahan yang dari pekarangannya menghilir ke perut pegawai perusahaan. Ada
nenek Rufina di kampung Wayau, dan Paitua
Sitompul di Makaling. Dari nama terakhir ini, bagi saya Makaling memberi
pengertian begini. Kondisi setiap orang memiliki tanah adalah menjadi jaminan meluasnya
perlawanan mempertahankan tanah. Tanpa jaminan akses atas tanah (tidak harus
memiliki dalam arti individual), dan tanah terkonsentrasi pada segelintir orang
dan bukan merata pada sebagian besar warga (anggota marga), maka ajakan untuk
menolak hadirnya perusahaan menjadi tidak kuat. Bisa jadi, datangnya investasi
adalah peluang bagi “landless people” ini. Redistribusi (akses) tanah menjadi
penting sebagai pendasaran perlawanan di Makaling. Yang masih membuat saya
penasaran adalah proses bagaimana redistribusi ini dilakukan atas inisiatif
“Orang Batak”, atas wilayah di “Makaling”, kepada sebagian besar “Orang
Makaling”, juga “Mas Jawa” dan “Daeng Bugis”. Bab yang membersitkan optimisme
sehingga “semua indah pada waktunya” ini, kurang sebanding dengan bab-bab
“pesimistik” sebelumnya. Sama juga argumen tentang “small holderfarm” terhadap
industri pertanian skala raksasa: produktivitas dan populasi/tenaga kerja.
Apakah contoh bertahannya pertanian-pekarangan-kebun di kampung-kampung itu
men-support kebutuhan, bersandingan,
atau melawan perusahaan? Untuk menjawab ini, pendekatan kebudayaan bisa jadi
tidak memadai.
2.
Pembangunan
Pada bab 4. perubahan di Merauke yang
memberi latar pada dua kasus di Zanegi
dan Domande dari masa ke masa dengan berbagai intervensi “pembangunan”-nya
tergambar dengan jelas meski sepintas. Pembangunan tidak musti dilihat sebagai
“ideologi”, yakni suatu proyek intervensi berupa capitalist development pasca Perang
Dunia II terhadap “negara-negara berkembang”, namun dapat semata-mata
dimaksudkan sebagai kehendak membangun/perbaikan pada kehidupan masyarakat. Pada titik ini
persoalannya adalah bagaimana ia dipraktikkan, sebagai proyek, dan
diterjemahkan ke dalam kategori administratif dan teknis yang menghilangkan
sisi politisnya. Itulah yang tampak misalnya dalam kebijakan transmigrasi,
pembentukan pemerintahan kampung dan Lembaga Masyarakat Adat. Transmigrasi
dilihat semata-mata soal membangun hunian dan memindahkan orang--kampungisasi,
bukan perubahan penguasaan-pemilikan tanah (dan power) di tempatan; kampung dan adat menjadi kategori “organisasi”
sosial alih-alih pengakuan terhadap segenap hak atas tanah, air, dan hutan, dan
pengaturan kesukuannya. Dalam buku ini, kedua pengertian “pembangunan”
diperhatikan, bahkan menjadi sosok yang dikuntit, diikuti, ditanya, bahkan
diinterogasi sepanjang kehadirannya.
3. Metafora
Dalam hal menulis, banyak hal dituntut:
kekayaan data, ketajaman analisa, keindahan metafor, daya tarik ajakan atau
gugatan, dan kelegaan jalan keluar. Buku ini, sayangnya cukup tipis sebagai
buku etnografi, mencoba menjawab tuntutan itu. Yang paling saya suka adalah
metafor dan beberapa paragrafnya yang liris bagai elegi: “Tak luput dari
pandangan adalah anak‐anak usia 6‐10 tahun telanjang kaki berlarian masuk keluar toko atau
menanti di pintu toko menengadahkan tangan dengan mata bulat dan bulu mata
sangat lentik, berkata: ‘seribukah…’. Mereka mengemis. Mereka yang lain, atau
mereka yang liyan, berusaha menikmati kota dengan menghirup udara malam,
sambil menyenangkan hati melalui kunyahan”.
Saya berdesir membaca kalimat ini. Catatan lain, metafor mengenai “uang
pinangan” ini indah: “Perusahaan ibarat laki‐laki yang sedang meminang sang Mama. Mama atau ibu
adalah personifikasi tanah sebagai perempuan/ibu yang menghidupi orang
kampung”. Menunjukkan bagaimana brutal
capitalism itu bisa bekerja dengan cara indahnya. Uang tali asih, uang
ketuk pintu, uang penghargaan atas tanah ulayat adalah eufemisme yang
memporak-porandakan logika. Hal yang sama saya jumpai di Lalonggasu, Tinanggea, Konawe Selatan,
Sultra pada kesempatan lain. Perusahaan IFISHDECO memberi “uang kearifan lokal”
kepada penduduk atas tanah leluhur yang dibongkar untuk pertambangan nikel,
selain “uang debu” dan “uang sagu”, dengan penjelasan warga telah secara arif
sebelumnya mengolah tanah di perbukitan itu. Dengan inilah “tanah sudah
dimeterai”. Berbeda dengan Merauke, di Sultra, pertambangan tidak dalam
skenario yang dipersipkan sejak awal, bisa di atas HGU yang diterlantarkan
tiba-tiba ditambang dan diambil nikelnya, sehingga tidak ada janji manusia juga
akan “diolah”: disekolahkan, dilatih, dan diberi tahu. Ada 520-an IUP terbit di
Sultra sejak tahun 2009, pasca ditemukannya tambang emas di Bombana.
Metafor
jarang dijumpai ketika orang menulis
masalah agraria yang konon terkesan rumit itu. Ia dimudahkan sebab itu tadi,
pendekatan kebudayaan. Kegelisahan
masyarakat menghadapi tekanan-tekanan, sulit jika tanpa penulis turut ambil
bagian dalam situasi psikologis mereka, dan agak sumir jika disajikan dalam
keruntukan naratif atas data, namun lebih tepat dinyatakan dalam
kalimat-kalimat metafor tadi.
4.
Saya
senang membaca buku ini!
Godean,
21 November 2013
ikut melansirkan ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/archives/9379
BalasHapusupdate link tautan: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/9379
Hapus