Ilustrasi: Windi Wahyu Ningtyas |
Anak Muda Emoh Pertanian, Mengapa?
Keengganan itu
merupakan AKIBAT, bukan SEBAB. Akibat dari menurunnya keterampilan anak muda
dan pengetahuan mengenai pertanian. Pendidikan formal mengabaikan urgensitas pertanian.
Akibat menurunnya kehidupan pertanian dan pedesaan sebab pembangunan dan
kebijakan yang bias perkotaan dan ekonomi ekstraksi. Akibat tidak perhatiannya pemerintah
terhadap pertanian skala rumah tangga dan infrastrukturnya, malah memilih
pertanian skala industrial untuk pangan dan energi. Akibat diambilnya
tanah-tanah untuk tanaman non-pangan bahkan non-pertanian baik secara terencana
maupun spontan. Singkatnya, akibat-akibat struktural yang kompleks di luar kendali anak muda sendiri.
Jikapun
anak muda ingin bertani, tidak ada akses atas tanah bagi mereka. Budaya patriarkis
dan grontokrasi, dimana masyarakat berorientasi mementingkan orang dewasa
ketimbang anak muda, tercermin dalam budaya mewaris. Warisan baru diberikan oleh
orang tua menjelang mereka meninggal, kepada anak-anaknya yang juga telah berusia
dewasa. Siapa yang akan tertarik memulai menjadi petani di usia 40-50 tahun? Akibatnya,
tanah tetap ada di tangan orang tua/komunal.
Selain itu,
ada masalah serius yang terjadi di keluarga pedesaan Indonesia, yakni keterlepasan
tanah keluarga. Orang tua memodali anak untuk sekolah dengan menjual tanah. Orang
tua memodali anak untuk bekerja (menjadi buruh kota) dengan menjual tanah,
bukan malah memberinya tanah agar bisa bekerja di pertanian. Akibatnya,
kedua-duanya kehilangan tanah, pemiskinan pedesaan.
Anak Muda, Korporasi, dan Negara
Meski dimana-mana negara terjadi urbanisasi, namun pertumbuhan penduduk di pedesaan terus bertambah. Lebih dari separo penduduk di negara berkembang tinggal di desa (Amerika Latin, Karibean, Timur Tengah, Afrika Selatan, termasuk Indonesia. Sejumlah 70 % dari mereka hidup miskin, 80 % dari mereka bekerja di pertanian. Pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar dunia. Sementaraterdapat fakta bahwa jumlah pengangguran anak muda usia 15-24 dua kali lipat dibanding orang tua. Kemiskinan melanda anak muda.
Model pembangunan neoliberal menghancurkan kesempatan kerja banyak sektor sehingga terjadi surplus penduduk dan surplus tenaga kerja. Pembangunan industrial bukan penyedia pasar tenaga kerja, malah banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terlepas dari (calon) tenaga kerja pertanian menjadi buruh, dan terlepas dari buruh menjadi pengangguran. Sebagian mengadu nasib menjadi buruh migran.
Tidak ada
kebijakan menyeluruh/mendasar oleh pemerintah. Buruh-buruh itu malah
dipromosikan untuk menarik investasi. Keunggulan berinvestasi di Indonesia sebab
negeri ini memiliki tenaga kerja murah, bisa di-outsourcing-kan (dan bisa
dipecat sewaktu-waktu). Demikain promosi pemerintah terhadap investor asing
maupun domestik. Menggiurkan bukan! Itulah
cara pemerintah dalam “menyalurkan” tenaga kerja Indonesia. Tak ubahnya sebagai
penyalur jasa tenaga kerja. Jika sudah
tidak mampu lagi, inilah yang dilakukan, menggencarkan program
enterpreunership. Seakan sedang berkata, “Silahkan berusaha sendiri, ciptakan
kerja sendiri, kami tidak bertanggung jawab atas nasib kalian. Bersainglah dalam
dunia pasar”. Program entrepreneurship
dikampanyekan, diajarkan, dipertontonkan bahkan dianugerahi dengan serangkaian award oleh banyak pihak. Kampus latah,
korporasi senang, pemerintah ongkang-ongkang. Kewirausahaan cerminan belaka
dari deagrarianisasi, footloose labor, ekonomi pasar yang homo homini lupus, dan tentu saja absennya negara.
Tanah, masa
depan pemuda dan pertanian, akan suram gambarannya jika struktur lebih luas
mengenai kebijakan agraria dan struktur sosial-kebudayaan masyarakat Indonesia,
masih berorientasi pada ekonomi skala besar korporasi dan bukan rumah tangga, serta
patriarkis dan gerontokratif. Jika demikian, kemana arah transformasi masyarakat (agraria) kita?
(A. N. Luthfi, ringkasan ini diinspirasi oleh, unduh)
Tulisan selengkapnya, unduh
(A. N. Luthfi, ringkasan ini diinspirasi oleh, unduh)
Tulisan selengkapnya, unduh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar