Ahmad Nashih Luthfi [1]
Salah satu mitos yang diyakini dalam ekonomi neo-klasik
adalah bahwa kekurangan pangan disebabkan tiadanya bahan pangan. Pada dasarnya
yang terjadi adalah terkonsentrasinya pangan di sejumlah tangan industri
kapitalis yang merasuki rantai komoditas pertanian. Ditambah lagi tidak
hadirnya negara yang seharusnya berfungsi sebagai provider bagi warganegaranya,
baik dalam penyedia hak dasar pangan maupun aset produksi. Dalam konteks
semacam itu, solidaritas masyarakat melemah.
Cerita tragis yang
terjadi di Magetan mencerminkan hal di atas. Seorang anak SD, Teguh Miswadi (11
tahun) mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Ia tidak tahan menderita
sakit maag akut. Hidup dengan seorang nenek renta yang buta, dan ayah yang
tidak mempedulikannya serta ditinggal merantau ibunya, setiap hari ia hanya
dapat makan sekali. Tragis dan ironis! Demikian juga yang dialami Besse,
seorang ibu di Makassar yang sedang
hamil 7 bulan meninggal karena kelaparan. Beras satu liter dihabiskan untuk 3
hari, dimakan ia dengan ketiga anaknya. Inilah cerita pedih yang mengisi
lembaran kalender 2008.
[1] Ditulis bersama Moh. Shohibuddin, dimuat di Majalah Basis Juni-Juli 2008. Tulisan ini adalah cuplikan dari hasil riset mengenai
Dinamika Kedaulatan Pangan di Kab. Mamasa Prov. Sulawesi Barat, Kab. Pandeglang
Prov. Banten dan Kab. Klaten Prov. Jawa Tengah, hasil kerjasama antara Koalisi
Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dengan Sajogyo Institute (SAINS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar