Ahmad Nashih Luthfi [1]
Diskusi mengenai “tanah kosong” memanggil perdebatan
panjang tentang beberapa konsep penting dalam kajian (sejarah-hukum) agraria,
yakni tentang “domein verklaring”, “woeste gronden”, serta “the commons”.
Pada masa kolonial, perdebatan
ini berkisar seputar apakah dalam mengatur rakyat Indonesia digunakan Hukum
Barat (berupa Burgerlijk Wetboek)
tanpa membedakan antar golongan, ataukah adanya pembedaan berupa diakuinya
Hukum Bumiputra (baik dalam pengertiannya yang kemudian dimaknai sebagai recognition ataupun discrimination). Pilihan terakhir berarti mengakui adanya unifikasi
atau yurisdiksi plural/multilevel.
1.
Pemerintah
Kolonial menganggap tanah kosong sebagai domein negara
Kemunculan konsep “domein verklaring”dan “woeste gronden”
tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme-industrial. Munculnya deklarasi
domein atau pemilikan negara berakar jauh ke belakang dari keberadaan VOC (Vereenigde Ost-Indische Compagnie) dan
WIC (West India Company). Memegang
mandat tujuh provinsi Belanda Serikat, dua armada dagang itu dalam menjalin
hubungan (: penaklukan) dengan kerajaan-lokal memiliki kewenangan menerbitkan
hak keperdataan tentang kepemilikan tanah di wilayah yang dikuasai. Perjanjian
yang mengikat dengan otoritas lokal menempatkan posisi mereka sebagai pemilik
teritori dan tanah-tanah yang ada dalam lingkupnya terhisap ke dalam
kepemilikan dan menjadi domein VOC/WIC.[2]
Dalam perkembangannya, seiring
lahirnya pemerintahan Hindia Belanda-Timur, penerapan doktrin domein dikukuhkan
melalui serangkaian peraturan-perundang-undangan (dari tahun 1856 hingga 1870)
sampai dengan lahirnya Agrarische Wet
1870 yang semakin memantapkan prinsip tersebut. Prinsip ini berlaku pertama-tama
di Jawa-Madura, kemudian daerah luarnya pada tahun 1875. Bunyinya adalah, “landsdomein is alle grond, waarop niet door
anderen recht van eigendom wordt bewezen” (domein negara adalah semua
tanah yang mana di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom oleh
seseorang).
Birokrasi kolonial saat itu
menafsirkan secara berbeda-beda atas
kata semua tanah:[3]
1)
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak
eigendom barat
2)
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak
eigendom barat dan hak eigendom agraris
3)
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak
eigendom barat dan hak eigendom agraris ataupun hak eigendom timur
4)
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak
eigendom barat dan hak eigendom agraris ataupun hak eigendom timur, dan hak
penguasaan masyarakat adat
Jauh sebelum itu, penfasiran
“secara luas” terhadap tanah-tanah yang dianggap sebagai domain negara
berimplikasi pada keberadaan tanah-tanah yang disebut sebagai “woeste gronden”.
Saat itu dikenal istilah “de bouwvelden” yakni tanah pertanian meliputi semua
tanah yang telah diusahakan oleh seseorang; dan “de woeste gronden” (waste land) yakni tanah yang tidak
diusahakan dan kemudian dilekati dengan istilah “tanah liar” sehingga ada dalam
domein negara. Terhadap jenis tanah ini, rencana-rencana liberal rezim Willem I
mengijinkan pemberian hak kepada perusahaan-perusahaan perkebunan swasta untuk
kebutuhan industrialnya, dengan cara sewa jangka pendek atau panjang (pacht). Sebelum rencana ini dijalankan,
J. C. Baud pada tahun 1829 melakukan penelitian tentang siapa sebenarnya pemilik
atas “tanah liar” itu. Hasil penelitiannya merekomendasikan pelarangan
pemberian hak tanah kepada perusahaan perkebunan jikalau tanah-tanah itu telah
dibuka oleh seseorang, atau tanah itu termasuk dalam lingkungan desa, sebagai
tempat penggembalaan umum ataupun dengan sifat lain.
Baud juga menemukan bahwa hak
desa atas “tanah-tanah liar” berbeda di beberapa daerah: Jawa Timur dan Jawa
Tengah lebih kuat dibanding yang ditemukannya di Jawa Barat, Aceh, Bali,
Madura, dan Bawean. Usulan Baud ini tidak lagi berarti tatkala dideklarasikan
“domein verklaring” secara merata di wilayah nusantara, Jawa-Madura pada tahun
1870; Ambon pada 1872; Sumatera pada 1874; Manado pada 1877, yang berimplikasi
bahwa semua tanah-tanah liar adalah domein negara dan hak menguasi tanah-tanah
tersebut melulu ada di tangan pemerintah.
Di awal abad 20, van Vollenhoven
membuka kembali perdebatan tentang domein
verklaring tersebut yang merupakan dasar dari konsep teritori negara dan
dibangunnya keberadaan perusahaan-perusahaan di atas hak yang diberikan oleh
negara, serta penguasaan-pemilikan kawasan kehutanan dan upaya eksploitasinya.
Ia menyatakan bahwa prinsip kepemilikan negara itu merupakan bentuk kekerasan,
disebutnya sebagai “setengah abad pelanggaran hak” sebab menafikan hak-hak pribumi
atas tanah. Menurutnya, tanah liar itu ada dalam hak masyarakat pribumi dengan
apa yang disebut sebagai “beschikkingsrecht”.[4]
Beschikkingsrecht ini tidak dikenal
dalam hukum barat, BW (Bugerlijk Wetboek). BW hanya mengenal 3 jenis hak: eerfelijk
individueel bezitrecht (hak milik individual yang bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik
komunal), dan gebruiksaandelen in
communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan pemakaian bergiliran).[5] Didefinisikannya “tanah liar” sebagai tanah
tak bertuan sehingga dimasukkan sebagai “milik negara” memudahkan tanah itu
dipergunakan untuk berbagai peruntukan utamanya mamfasilitasi masukknya modal,
dan sebaliknya mengeksklusi (diistilahkan hak mengasingkan tanah) desa atau
kemasyarakatan adat untuk mengaksesnya. Padahal pihak terakhir ini di dalam
mendefinisikan (klaim) tanah adat tidak mengkategorisasi apakah tanah itu
diusahakan atau dalam kondisi terlantar (sementara keterlantaran ini selalu ada
ekspektasi untuk sewaktu-waktu dibuka, diusahakan, dan dikukuhkan sebagai hak
individu).
Tegasnya, pemerintah kolonial
melakukan kekerasan epistemologis dengan mendefinisi-kategorisasikan secara luas “woeste gronden” dan mengenakan
“prinsip domein”di atas tanah itu sehingga dengan legitimasi itu mengeluarkan
eksistensi (hak) pribumi/adat dan memasukkan kepentingan lain (modal) sesuai
keinginannya.
Sebagai contoh adalah periode
Tanam Paksa. Tanam Paksa dilaksanakan melalui penanaman komoditas tertentu 1)
di atas seperlima dari tanah-tanah yang telah dikerjakan untuk tanaman pangan;
2) di atas “tanah-tanah liar”, yakni tanah-tanah yang tidak diusahakan yang
mana pengusaha dapat memperoleh kontrol dari pemerintah melalui sewa atau
kontrak dalam jangka panjang. Sampai dengan tahun 1850, telah terdaftar 50
perjanjian penyewaan/kontrak atas “tanah liar” di Jawa seluas lebih dari 32.000
bau (23.140 ha), namun sekitar 26.000 bau (18.329 ha) yang diusahakan, dan
sisanya “diterlantarkan”. Sekitar separoh (yakni 24) dari perjanjian itu adalah
untuk ditanami kopi. Kopi umumnya di lereng-lereng rendah perbukitan, tebu dan
indigo ditanam di lingkungan dataran rendah dengan populasi yang padat.[6]
2.
Perkebunan
sebagai tanah kosong pada masa jepang
“Keterlantaran
tanah” pada masa Jepang berupa ditinggalkannya tanah-tanah perkebunan oleh
pengelolanya yang berkebangsaan Eropa karena diinternir oleh Jepang. Di atas
tanah-tanah itulah rakyat diharuskan menanam tanaman pangan untuk pertahanan
perang. Pembongkaran hutan dan onderneming
(perkebunan) mendapat sambutan rakyat tani. Puluhan onderneming dengan puluhan ribu hektare tanah diubah menjadi tanah
pertanian rakyat. Tanaman onderneming
berubah menjadi tanaman jagung, singkong, huma, kapas, dan jarak. Meski
hasilnya untuk kepentingan perang, perubahan yang mendasar bagi rakyat
adalah bahwa mereka merasa pendudukan
atas tanah-tanah perkebunan itu diperbolehkan dan sewaktu-waktu mereka akan
menjadi pemilik atas tanah itu tatkala Jepang hengkang.[7]
3.
Aspirasi
kemerdekaan menghapus prinsip domein; dan tanah kosong untuk pangan
Sadar bahwa akar masalah pengingkaran akan hak-hak pribumi
atas keadulatan teritori (tanah) adalah karena diimaninya prinsip domein (memiliki) oleh negara, maka para pendiri
bangsa, salah satunya adalah Soepomo yang merupakan murid paling
menonjol—selain ter Haar—dari van
Vollenhoven, menghapus prinsip tersebut. Sebagai negara baru, berdasarkan asas
sentralisasi dalam bingkai negara Kesatuan, diputuskan bahwa kepentingan negara
harus di atas hak ulayat masyarakat hukum adat, yang mana negara kemudian
memiliki Hak Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara (HMN) itu dirumuskan di dalam konteks historis
bahwa negara memikul aspirasi kemerdekaan. Mereka berasumsi bahwa negara
dibangun untuk mensejahterakan rakyatnya (negara budiman). Tidak terbayangkan
bagi para pendiri bangsa saat itu bahwa dengan HMN negara bisa mempraktikkan
suatu proses dan kepentingan yang mengakibatkan rakyat kehilangan hak atas
tanah. Kesadaran tentang negara sebagai commonwealth
mengaspirasikan mereka dalam merumuskan HMN.[8]
Undang-Undang dasar 1945 pasal 33 (3) dan UUPA 1960 pasal 2 menegaskan
pernyataan HMN ini. Singkatnya, pernyataan hak memiliki negara diganti dengan hak menguasai negara, dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria yang baru
mengakui adat sebagai sumber hukum
(pasal 5).
UUPA 1960 anti terhadap
penelantaran tanah (membiarkan tanah menjadi kosong) sehingga jika
diterlantarkan maka akan dicabut/dihapuskan dan dialihkan ke pihak lain, baik
untuk jenis hak milik (pasal 27), hak guna usaha (pasal 34), hak guna bangunan
(pasal 40). Hal ini mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial (pasal 6)
sehingga pemanfaatan dan penguasaan oleh pihak lain dimungkinkan. Di sinilah
tercermin bahwa hubungan manusia dengan tanah tidaklah semata-mata hubungan hak
kebendaan (perdata) namun terkandung hak publik (refleksi dari pemahaman atas
adat bahwa kekuasaan dalam urusan tanah terletak dalam komunitas)[9].
Segera
setelah kemerdekaan, langsung diupayakan dilakukan land reform. Penghapusan tanah perdikan dan redistribusi untuk kaum
tani atas tanah perkebunan di vorstenlanden
terjadi pada tahun 1948. Pada periode ini pula Menteri urusan Bahan Makanan,
I.J. Kasimo, membuat Rencana Produksi Tiga Tahun (1947-1950) atau dikenal
dengan Plan Kasimo. Kebijakannya
berupa perintah penanaman tanah-tanah kosong, utamanya yang ada di Sumatera
Timur seluas 281.277 ha. Pedesaan digiatkan dalam usaha tani, intensifikasi
melalui bibit padi unggul, dibentuknya kebun-kebun bibit untuk rakyat, dan
pemeliharaan hewan ternak sebagai alat produksi pangan, serta dilaksanakannya
transmigrasi. Kesemuanya dalam rangka swasembada pangan.[10] Kelaparan yang melanda rakyat Indonesia
selama periode Jepang sebelumnya sampai dengan masa Revolusi harus segera
diatasi dengan berswasembada pangan melalui cara-cara penanaman di atas
tanah-tanah kosong.
4.
Tanah
untuk pembangunan orde baru
Pada masa Orde Baru, terjadi reorientasi “kepentingan
nasional” yang menghegemoni kepentingan rakyatnya. Kebijakan pertanahan diarahkan untuk mendukung pembangunan
baik oleh pemerintah maupun swasta. Terjadi “reverse land reform”
dari yang seharusnya untuk rakyat
menjadi untuk swasta. Berbagai ketentuan UUPA yang tidak sejalan dengan
kepentingan Orde Baru diabaikan, ditafsir ulang, dan dihindari. Secara
bersamaan legislasi sektoral atas ekstraksi sumberdaya alam mengeluarkan areal
tanah yang termasuk dalam kawasan hutan dari ketentuan UUPA. UUPA (1960)
“disubversi” oleh Undang-Undang Pokok Kehutanan (1967) dan Undang-Undang
Penanaman Modal (1967) yang memfasilitasi pemberian ijin usaha pertambangan.
Dalam konfigurasi politik-ekonomi
semacam itu, prinsip Hak Menguasai Negara
ditafsir-praktikkan sebagai Hak Memiliki Negara
sehingga sering didengar penyebutan secara salah kaprah tentang “tanah negara”.
Tragisnya lagi, di kawasan kehutanan, dimana sekitar 70% dari total daratan Indonesia
ada di dalam yurisdiksinya, definisi tentang kawasan kehutanan dalam UUPK 1967
mencerminkan prinsip “domein verklaring” sebagaimana regulasi kolonial yakni Undang-Undang
Kehutanan 1927 dan Peraturan Kehutanan 1932.[11]
5.
Pasca
Orba, perjuangan menuju kepastian dan keadilan tenurial
Tampilan struktur agraria yang timpang menghasilkan
konsentrasi aset yang sangat tidak adil, konflik struktural yang akut, dan
proses pemiskinan dalam skala luas. Kondisi inilah yang melatari bangkitnya
aksi-aksi protes agraria dalam berbagai bentuk (termasuk reklaiming) yang
merebak luas pada era pasca Orde Baru. Sekedar ilustrasi, petani mulai
menggarap padang golf di Cimacan (1998), penguasaan atas kebun coklat dan tanah
kosong yang dimiliki PT Citra Lamtorogung Persada di Lampung (1998), petani
membuka saluran irigasi untuk memperoleh air di Aceh (1998), petani
menghancurkan panen PT Perkebunan Nusantara II Kebun Batangkuis di Medan (1998)
reklaiming peternakan Suharto di Tapos, dan tuntutan pencabutan hak pemakaian
tanah untuk pertanian (HGU) yang diberikan kepada PT Rejo Sari Bumi (2000).
Bahkan kala itu Presiden Abdurrrahman Wachid membuat pernyataan yang
mengijinkan aksi-aksi, sebab menurutnya tanah-tanah yang dikuasai oleh
perkebunan itu semula adalah milik rakyat.
Di tengah
ketimpangan penguasaan tanah yang demikian akut dan gejala pencerabutan manusia
atas tanah dan pertanian (deagrarianisasi), di sisi lain dijumpai fakta adanya
penelantaran tanah. Penyebabnya macam-macam, salah satunya adalah tanah
dijadikan barang dagangan (komoditas) sehingga menjadi objek spekulasi, atau
cadangan untuk investasi pembangunan. Penelantaran tanah oleh pemerintah (atau
badan usaha negara) disebabkan keterbatasan biaya pengelolaan yang bersumber
dari dana publik, sebab ketidakseriusan, atau bahkan salah urus. Mengatasi hal
demikian, maka pemerintah membuat serangkaian kebijakan tentang pemanfaatan
tanah kosong dan penertiban tanah terlantar. Beberapa regulasi yang
mengaturnya:
1)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar.
2) Permen Agraria/Perkaban nomor 3 tahun 1998 tentang pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan.
Ditegaskan lagi dengan,
3)
Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor. 34 Tahun 2003, tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, huruf g mengenai pemanfaatan dan
penyelesaian masalah tanah kosong.
4)
PP no 11 tahun 2010 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
5)
Peraturan Kepala BPN no 4 tahun 2010
tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
Dari penghitungan BPN pada tahun 2010, telah teridentifikasi
7,3 juta ha tanah terlantar (kota-desa); dengan 3,1 juta ha tanah terdaftar atau setara dengan 133 kali
luas Singapura. Tanah-tanah terlantar itu sejumlah 15,32% adalah tanah-tanah yang
dikuasai oleh pemerintah atau BUMN, sisanya oleh swasta dalam bentuk HGU (1,935
juta). Potensi kerugian yang ditimbulkan dari tidak dimanfaatkannya tanah
terlantar tersebut adalah Rp. 6000 triliun/5 th. Pemerintah mengagendakan pendayagunaan
tanah terlantar sebagai obyek Reforma Agraria/PPAN. Dari target 8,1 juta ha
obyek PPAN, sebesar 7,3 disumbang dari tanah terlantar. [12]
Catatan kritis yang bisa diajukan terhadap regulasi di
atas adalah bahwa terdapat “pasal karet” mengenai pengecualian obyek tanah terlantar,
berupa didefinisikannya keterlantaran itu dengan faktor “kektidaksengajaan”.
Faktor ini menyulitkan penetapan indikator dan cara mem-verifikasinya. Juga
tentang penetapan obyek tanah terlantar. Pengecualian obyek tanah dalam
kategori yang dikuasai oleh pemerintah (langsung-tidak langsung) dan sudah atau
belum berstatus barang milik negara/daerah, mengabaikan kenyataan bahwa fakta
keterlantaran tanah yang demikian tinggi dengan ekskalasi konflik pertanahan yang
tinggi pula (misalnya di PTPN-PTPN), justru ada di tanah-tanah dalam kategori kuasa
pemerintah itu. Maka tidak mengehrankan jika political will lemah untuk segera mengeksekusi penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar tersebut.
Pada tingkatan birokrasi terdapat
kekeliruan mendasar adanya pemahaman bahwa PP no 11 tahun 2010 itu tidak bisa
dijalankan tanpa disertai adanya PP Reforma Agraria. Sementara di sisi lain
telah dilaksanakan kebijakan PPAN di beberapa tempat, yang mana kebijakan ini
disebut sebagai Reforma Agraria. Telah ditegaskan juga bahwa PP no 11 tahun
2010 ini mengalokasikan pendayagunaan
tanah terlantar untuk reforma agraria.
6.
Contoh
kasus Tanah Terlantar di Yogyakarta
Setiap Kantor Wilayah BPN memiliki bagian yang menangani bidang
pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka melakukan
pengendalian terhadap tanah-tanah yang telah dilakukan pendaftarannya dalam
berbagai bentuk hak. Dalam rangka pengendalian itu diperoleh angka sekitar 300
hektar tanah yang diidentifikasi terlantar (kota-desa). Dengan keluarnya PP no
11 tahun 2010 yang mengecualikan tanah yang dikuasai oleh pemerintah sebagai
obyek tanah terlantar, maka akhirnya hanya ditetapkan 62,1038 ha atas 15 subyek
hak.[13] Jenis hak umunya adalah HGB.
Di masa lalu, pemanfaatan tanah
terlantar dalam praktik dan definisi formal dilakukan oleh instansi pemerintah
non-BPN, yang dapat bekerjasama dengan pemegang hak serta diatur oleh
Pemerintah Daerah. Sebagai contoh adalah pemanfaatan tanah kosong di Kabupaten
Bantul melalui program ABRI Manunggal Pertanian (AMP). Ada dua jenis
pemanfaatan yakni dilakukan oleh masyarakat sendiri dan dilakukan oleh instansi
pemerintah. Program pertama berupa pemanfaatan atas tanah tujuh pengembang perumahan.
Mereka ini menguasai tanah cukup luas dan seluruh atau sebagian tanahnya masih dalam
keadaan kosong. Pengembang tersebut adalah Perum Perumnas, Koperasi BKUK
Dekopindo, PT. Nuscon Asri, PT. Aditra Graha Asri, PT. Heksana Adi Gatra Mulya,
PT. Lita Internusa, dan PT. Griya Mataram Singgasana. Dalam
pengakuan pengembang, penelantaran itu disebabkan faktor ekonomi berupa suku
bunga tinggi sehingga mereka kesulitan mendapat kredit bank untuk pembangunan
perumahan, serta krisis ekonomi tahun 1999 yang mengakibatkan rendahnya
permintaan pembangunan rumah. Pemanfaatan yang dilakukan adalah penanaman kembali
tanah kosong oleh pemilik semula di atas tanah pengembang.
Program kedua adalah berupa penanaman tanaman pangan oleh
ABRI (Kodim 0729 Bantul) sebagaimana dinyatakan oleh Surat Keputusan Penanggung
Jawab Operasi ABRI Manunggal Pertanian No. Skep/06/IV/1998. Penanaman dilakukan
di atas tanah-tanah kosong masyarakat melalui sistem bagi hasil, yang mana
pemilik mendapat 60% hasil serta upah tenaga kerja jika mereka sendiri yang
mengerjakannya.[14]
Dalam dokumen resmi, program inilah yang sering dicatat
sebagai bentuk pemanfaatan tanah terlantar, mengabaikan kenyataan bahwa
masyarakat luas dengan definisi mengenai tanah kosong dan dihadapkan pada kondisi
aktualnya, telah banyak memanfaatkan tanah-tanah yang dianggap kosong/terlantar
tersebut.
7.
Penutup
Melalui penelusuran sejarah hukum
tentang tanah kosong (tanah liar, tanah terlantar, woeste gronden, waste land) atau dengan sebutan lain, ditunjukkan
bagaimana ia didefiniskan, dikategorisasi, diatur dan dipraktikkan dalam
berbagai bentuk penguasaan dan pemanfaatan. Tanah kosong tidaklah benar-benar
kosong, sebab selain menyediakan tempat hidup bagi berbagai jenis tanaman dan
hewan di atasnya (organisma), ia juga dipenuhi dengan berbagai pemaknaan dan
praktik penguasaan baik aktual maupun potensial. Tatkala ia didefinisikan
“kosong”, negara atau siapapun hadir “mengisinya” dan memasukkan atau
mengasingkan pihak-pihak lain dalam proses pengisian itu. Dengan demikian
kekosongan selalu bersifat relasional. Di dalam relasi itulah sekumpulan hak (a bundle of right) dikonstruksikan, dan
sehimpunan kekuasaan (a bundle of power)
dirumuskan.Hak dan kekuasaan untuk mengakses "tanah kosong" oleh rakyat itulah yang diperlukan, tidak harus memilikinya dalam pengertian formal.
Pasca Soeharto hingga kini, semakin kuat tampak bahwa berbagai aktor
memiliki argumen dalam mengkreasi cara dan kesempatan untuk menegosiasikan
hubungan kepemilikan (property relations)
dan menjustifikasi pemahaman mereka mengenai kondisi aktual, klaim, dan solusi
di dalam terminologi legal-formal. Pemahaman ini terbentuk seturut dengan
pegeseran hubungan antara negara, adat (desa, ulayat, nagari), dan rakyat yang
masing-masing memiliki hubungan kepemilikan.
Dalam pemahaman masyarakat,
sebagaimana telah ditegaskan oleh van Vollenhoven awal abad 20, tanah kosong
itu sebenarnya adalah “the commons”, dimana semua orang bisa mengaksesnya,
mengambil manfaat atasnya entah berupa ladang penggembalaan, hutan untuk
diambil hasil kayu dan pangannya, ataupun sungai dan lautan. Pembatasan dan
pelarangan atas “the commons” semakin naik dari tahun ke tahun seturut dengan
menguatnya otoritas negara (negaraisasi tanah) dan ekspansi kapital-industrial. Pembatasan itu
terjadi melalui pendefinisian atas tanah kosong-tanah negara, areal konservasi
hutan-resapan air-karbon-hewan lindung, dan sebagainya.
Daftar
Pustaka
á Campo, J.N.F.M., “Munculnya Perusahaan Korporat di Indonesia pada Masa
Kolonial, 1893-1913, dalam Thomas J. Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: PSSAT-UGM dengan
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 96
Burns, Peter, “Adat,
yang Mendahului Semua Hukum”, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra
Moniaga, (eds.), Adat dalam Politik
Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010
Fasseur, Cornelis, The Politics of Colonial
Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System,
Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell
University, 1992
Safitri, Myrna A. dkk., Menuju Kepastian dan Keadilan
Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip,
prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan
di Indonesia, Jakarta, 7 November 2011 (edisi revisi).
Sato, Shigero, War, Nationalism, and Peasants Java Under the
Japanese Occupation 1942–1945, Australia: Allen & Unwin, Ltd. 1994
Termorshuizen-Arts, Marjanne, “Rakyat Indonesia dan
Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein
di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A.
Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum
Agraria dan Masyarakat di Indonesia, HuMa, van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta, 2010
Vollenhoven, C. van, Orang
Indonesia dan Tanahnya yang dalam
bahasa Belandanya ditulis tahun 1919. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh
Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, 1975
Wibawanti, Ema Sri dan Maria S.W. Sumardjono,
"Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Bantul”, Sosiohumanika, Mei, 2001.
[1] Makalah diskusi di Kunci Cultural Studies, 24 Februari 2012
[2] Marjanne Termorshuizen-Arts, “Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, (HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010), hlm. 35-41
[2] Marjanne Termorshuizen-Arts, “Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, (HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010), hlm. 35-41
[3] Untuk
diskusi ini lihat, C. van Vollenhoven, Orang
Indonesia dan Tanahnya yang dalam
bahasa Belandanya ditulis tahun 1919. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh
Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, 1975. Lihat hlm 34-35.
[4] Hak ini
diterjemahkan sebagai “hak pertuanan”
(Prof. Soepomo), “hak purba” (Prof. Djojodigoeno), atau “hak menguasai” (Prof.
Notonagoro), dan “hak ulayat/adat” (UUPA 1960).
Diskusi tentang adat sebagai yang mendahului semua hukum (custom, that is before all law),
disajikan secara kritis oleh Peter Burns. Dalam tulisannya, ia menantang
argumen van Vollenhoven melalui tesisnya bahwa adat bukanlah sesuatu yang
ditemukan namun diciptakan, suatu ciptaan Belanda; serta pentingnya mentransformasikan adat menjadi hukum. Lihat, Peter
Burns, “Adat, yang Mendahului Semua Hukum”, dalam Jamie S. Davidson,
David Henley, dan Sandra Moniaga, (eds.), Adat
dalam Politik Indonesia, (Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010).
Perdebatan esensialisme vs konstruktivisme adat tidak menutupi kenyataan
dilanggarnya hak-hak pribumi dalam praktik eksploitasi tanah dan mobilisasi
tenaga kerja (oleh negara/swasta).
[5] Van Vollenhoven, op.cit., bab I.
[6] Cornelis Fasseur, The Politics of Colonial Exploitation: Java,
the Dutch, and the Cultivation System, (Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University,
1992), hlm 28 dan 99. Pada era Liberal, jumlah perusahaan-perkebunan naik
tajam dari 1500 (tahun 1890) menjadi 2500 (1913). Setiap perusahaan memiliki
jumlah perkebunan yang variatif; 1, 3, hingga 20 perkebunan. Lihat J.N.F.M. á Campo, “Munculnya Perusahaan
Korporat di Indonesia pada Masa Kolonial, 1893-1913, dalam Thomas J. Lindblad (ed.),
Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta:
PSSAT-UGM dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 96
[7] Simak
misalnya, Shigero Sato, War, Nationalism, and Peasants Java Under the
Japanese Occupation 1942–1945, (Australia: Allen & Unwin, Ltd. 1994)
[8] Hal ini
berbeda sekali dengan rezim kolonial bahwa atas nama domein verklaring mereka bisa mengambil alih “tanah-tanah
terlantar” milik adat; dan rezim Orde Baru yang atas nama Hak Menguasai Negara dapat melakukan pengadaan tanah untuk
Pembangunan atau Kepentingan Umum yang dipraktikkan dengan cara-cara pengusiran
terhadap rakyat (komunitas adat).
[9] Pada
masa sekarang, pemahaman ini diwujudkan misalnya dalam pendaftaran tanah milik
pribadi (transaki atau balik nama) yang mengikut-sertakan kepala desa (bukan sebagai
penentu namun pencatat dan atau saksi belaka).
[10] Di sini
mulai dikenal pula pendidikan
orang dewasa dengan peserta pemuda-pemudi tani berumur 18-25 tahun. Mereka
tanpa ujian masuk/keluar dan tamat untuk kembali bekerja di pertanian.
Pendidikan ini dikenal dengan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) yang
sejak Oktober 1947, BPMD merupakan
bagian dari “Plan Kasimo”.
[11]
Baru muncul UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mendefinisikan ulang
kawasan hutan; dan negara (melalui kemenhut) hanyalah salah satu pihak yang
memiliki hak penguasaan (bedakan dengan Hak Menguasai Negara) di antara
pihak-pihak lain (masyarakat adat, swasta, pribadi, dsb.). Namun dalam
praktiknya, pemahaman atas prinsip domein ini masih saja terjadi. Kalangan
masyarakat sipil mengusulkan pengukuhan tata batas kawasan hutan dan
penguasaannya sehingga didapat kepastian, serta penyelesaian konflik dan
perluasan kawasan kelola rakyat untuk peningkatan kesejahteraannya. Fakta bahwa
baru ada 12% (14,24 ha) dari total 130,68 juta ha yang ditetapkan, sehingga
sisanya bisa dianggap sebagai “open access” atau sebagai “tanah kosong” yang
tak bertuan. Sementara fakta lain menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa
(hitungan BPS) yang berada “dalam” atau “di sekitar” kawasan hutan yang 71,06% menggantungkan
hidupnya dari hutan. Mayoritas mereka dalam kondisi miskin dan terancam dengan
tuduhan “perambah” atau pelaku kriminal tatkala mengakses hasil-hasil hutan.
Simak, Myrna A. Safitri, dkk., Menuju
Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia
tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah
dan kawasan hutan di Indonesia, Jakarta, 7 November 2011 (edisi revisi).
[12] Keynote Speech Kepala BPN di Dewan Guru
Besar UI, 12 Mei 2010
[13] Keterangan audiensi dengan jajaran Kanwil BPN DIY dalam rangka
sosialisasi PP no 11 tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN no 4 tahun 2010
tentang Tanah Terlantar, Yogyakarta 12 April 2010.
[14] Ema Sri Wibawanti dan Maria S.W. Sumardjono,
"Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Bantul”, Sosiohumanika, Mei, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar