(Disajikan dalam acara simposium, “80
tahun Dr. Hc. Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc. Sc : Dinamika Reforma Agraria di
Indonesia”, di Gedung Riset Perkebunan Nasional, Bogor, 16 September 2012)
Ahmad
Nashih Luthfi
# I
Pada minggu
awal bulan Agustus, bertepatan dengan bulan puasa tahun ini, saya bersama
kawan-kawan Sajogyo Institute berkesempatan menemani Pak Wiradi melakukan napak
tilas ke kota kelahiran beliau, Solo. Salah satu yang membuat saya terkesan
adalah ketika kami berkunjung ke PG Colomadu. Pabrik ini menyimpan kenangan
mendalam bagi beliau. Lori berdinding, atau disebut monting yang melintas dengan bel berdenting tatkala mengangkut tebu
melewati jalanan Solo, demikian lekat dalam ingatan Pak Wiradi. Namun pemandangan
itu tak lagi bisa dijumpai. Kondisi pabrik kini menyedihkan, tidak ada
aktifitas produksi. Hanya ada aktifitas administrasi untuk produksi pabrik gula
lainnya yang masih satu atap manajemen. Mesin dengan roda-roda penggilingnya
yang besar, rel-rel lori dan kawat pagar pabrik dengan besi yang kuat, tampak mangkrak di sana sini. Sisa-sisa kejayaan masa lalu hilang tertutup
debu.
Melongokkan
kepala untuk mengintip kondisi pabrik yang menyedihkan itu ternyata juga tidak
mudah. Segera kami diarahkan untuk menemui manajer pabrik. Pak Wiradi
mengiyakan. Dan seakan memahami rasa penasaran kami, beliau menjelaskan bahwa
sebab mangkraknya pabrik tidak sesederhana seperti yang dijelaskan oleh sang
manajer. Ada satu periode dimana pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah ingin
diambil alih oleh perusahaan Tomy Soeharto, tahun-tahun menjelang keruntuhan
Orde Baru. PG Colomadu termasuk salah satu di antaranya. Bukan semata-mata
urusan manajemen dan bisnis, namun yang mendasar adalah masalah kekuasaan.
Penjelasan itu
makin menegaskan saya bahwa Pak Wiradi adalah peneliti agraria, guru studi
agraria, alih-alih guru reforma agraria, yang mengajak kami untuk menembus
lebih dalam ke sebab-sebab mendasar. Dalam
kasus ini, saya ingat bahwa Pak Wiradi pernah melakukan penelitian yang menyoal
tentang indikasi yang dimainkan oleh hampir semua level dalam rantai produksi
gula dengan mempermainkan timbangan dan hitungan rendemen. Masalah agraria
ternyata bukan hanya soal tanah, tenaga kerja, dan kapital, namun juga tentang
bagaimana mengakumulasikannya melalui cara-cara korupsi dan penipuan. Cerita
yang sedikit berbeda mengenai kongkalikong
adalah pemberian ijin konsesi perkebunan
antara pemerintah dengan penguasaha yang menghiasi media massa hari-hari ini.
Tentang Pak
Wiradi sebagai guru studi agraria (: kritis) daripada penganjur pelaksanaan
reforma agraria inilah yang menjadi penekanan saya. Ia menyatakan bahwa reforma
agraria tidak boleh asal, pokoknya landreform.
Ia harus didahului oleh riset agraria untuk mengetahui apa problem agrarianya. Kalimat
ini seakan-akan berbunyi, “Tidak ada reforma agraria tanpa studi agraria. Tidak ada aksi-aksi revolusioner tanpa
teori-teori revolusioner”.
Bagi saya, Pak
Wiradi bukan hanya guru dalam saya belajar masalah agraria, khusunya sejarah agraria,
namun dalam saya belajar sejarah itu sendiri. Hal demikian sangat saya rasakan
tatkala menuliskan sejarah pemikirannya, yang kemudian saya tuangkan dalam buku,
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: SumbanganPemikiran Mazhab Bogor, 2011.
Bagian
selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan topik yang diberikan oleh panitia, “Genealogi
Studi Agraria Indonesia dan Reforma Agraria di Indonesia”, suatu topik yang
sungguh berat, luas, dan ambisius. Saya tetap berangkat dari argumen bahwa
“tidak ada reforma agraria tanpa studi agraria”.
Selengkapnya, unduh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar