Kompas Jogja, Rabu, 11 Juni
2008
Mengelilingi kota tidak hanya mengitari jalanan, menyuntuki reklame dan
papan iklan. Kota tak hanya berisi kendaraan, bangunan-bangunan megah
supermarket, papan nama jalan, kompleks pemerintahan, dan gempita pertunjukan
musik di alun-alun. Menulis kota adalah menulis manusia-manusia yang
mengisinya. Melihat geliat perubahan kota berarti menyimak perubahan berpikir
dan bertingkah laku masyarakat dan pengelolanya. Demikianlah, maka kampung di
perkotaan.
Penjual remote televisi
dan korden dari tanah Sunda, penjual jamu dari Klaten, penjual mie ayam atau bakso
dari Gunung Kidul, nasi goreng/ sate gerobak dari Madura, dan berbagai penjaja
lainnya mewarnai kehidupan kampung dan perumahan kota. Simak saja di kampung
Blunyah Gede, Tegalrejo, Terban, atau Sagan.
Mereka itu adalah para pendatang dari penjuru desa.
Dengan spesifikasi jenis barang atau daerah asal, mereka menetap di
tengah-tengah penduduk asli Jogja. Oleh pemerintah kota (bahkan level
nasional), mereka digolongkan sebagai pelaku ekonomi sektor informal. Keberadaannya
tidak diperhitungkan, sebab dinilai tidak mengisi pendapatan pemerintah. Namun
tentu berjasa bagi sanak keluarga di rumah.
Kita saksikan bersama, dalam beberapa tahun
terakhir jumlah mereka dan keragaman produknya semakin meningkat. Bahkan sekarang terdapat penjual jasa tebang
pohon. Satu profesi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah pemandangan
yang saya jumpai. Dengan memanggul kapak, dilengkapi dengan tambang besar,
gergaji, dan golok, berjalan kaki 2-3 orang berkelompok menelusuri kampung dan
perumahan. Dari pagi hingga petang. Dilihat dari alat produksinya, barangkali
mereka lebih sering diminta menumbangkan batang pohon daripada memangkasnya.
Lalu, di atas pohon yang ditumbangkan berdirilah bangunan. Bisa jadi tanah yang
semula pekarangan berubah menjadi taman. Bagi penyewa jasa tebang, merawat
bebungaan lebih mudah dibanding menyapu dedaunan pohon yang berguguran. Atau juga
sebab gengsi. Maka suasana kampung berubah menjadi “suasana perumahan”. Bila telah berubah seperti ini, para “penebang”
itu tentu berpikir alih profesi. Sebagai juru taman misalnya. Yang patut
dipikirkan adalah, siapakah mereka, darimana, dan mengapa mereka memilih
pekerjaan itu? Cerminan apakah ini?
Sektor informal, oleh sebagian
pakar menjadi tanda kemerosotan ekonomi industrial. Ia sebagai katup
penyelamat. Kenaikan BBM dan pemadaman listrik, serta persaingan dengan produk
impor misalnya, sering menjadi sebab ambruknya perusahaan-perusahaan skala
menengah. Buruh-buruh perusahaan lantas di-PHK. Mereka yang semula anak-anak
desa yang terusir dari pertanian, sebab tiada tanah yag dikelola atau panenan
yang tak menjanjikan, berusaha tetap bertahan di perkotaan. Mendorong gerobak,
meneriakkan “sol sepatu!”, atau “hording-hording”, adalah siasat bertahan
hidup. Jarang yang mencoba kembali ke pertanian.
Suatu keanehan, bila sektor ini dinilai tidak mendukung
perubahan. Tanpa menunggu inisiatif kaum intelektual, LSM atau pemerintah,
mereka terus berjuang. Bila di Bali para penjaja adalah mantan bangsawan yang
telah hilang kekuasaan, dan di Jawa Timur adalah kaum santri, maka di sini,
mereka adalah korban dari proses de-agrarianisasi. Korban dari pendisiplinan
modernitas pembangunan.
Ketika alat produksi telah berubah fungsi. Kisah
pemanggul kapak adalah cerita tentang hubungan desa-kota kita.
(Ahmad Nashih Luthfi)
(Ahmad Nashih Luthfi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar