Mahatma Gandhi, tokoh pembebasan
India dan guru spritual yang menginspirasi gerakan perdamaian, anti kekerasan,
dan kedaulatan berproduksi, menyebut tujuh dosa sosial yang seringkali diidap
individu namun jarang disadari. Berikut tafsiran saya.
1. Science without humanity.
Pengetahuan tanpa kemanusiaan. Suatu kesalahan besar jika pencapaian
pengetahuan tidak disertai penghargaan kepada kemanusiaan bahkan untuk
menindasnya, menghardik sesama atas legitimasi pengetahuan. Pengetahuan
ditampilkan sebagai arena kekuasaan.
2. Worship without sacrifice.
Kebaktian tanpa pengorbanan. Banyak sekali orang menjalankan ibadah, menabung
untuk ritual, menghabiskan uang-waktu-pikiran untuk sesembahan, namun tidak
disertai kerelaan berkorban untuk sesamanya, mengorbankan nafsu sendiri untuk
sesuatu yang lebih mulia. Mengorbankan orang lain daripada hasrat pribadi.
3. Commerce without morality. Dunia
sekarang adalah dunia “dol-dolan”: “yang publik” dipribadikan, “yang layanan”
diperdagangkan, “yang mandat negara” diswastakan, “yang negara” di-rente-kan,
apalagi yang memang benar-benar pribadi sehingga bisa dipertukar-dagangkan.
Kaum pedagang adalah kaum yang meniagakan hasil produksi. Mereka sendiri tidak
memproduksi. Berat ujiannya, sehingga konon “aktifitas perniagaan” adalah arena
menguji keimanan. Sarat tipu-daya. Sepulang dari pasar, disarankan membasuh
tangan-kaki-muka, seperti sekembali dari pemakaman. Khawatir dedemit ikut
menempel dalam perjalanan. Moralitas seseorang ditempa, apakah dalam
berdagangnya ia melipatgandakan profit dengan cara-cara brutal baik aktual
maupun tersamar; ataukah saling ridlo dan tidak mematikan satu sama lain. Surga
imbalannya.
4. Education without character.
Pendidikan tanpa karakter. Ini paling kasat mata. Judul pelajaran atau kuliah
diciptakan. Plang nama pendidikan dipajang. Cerdik pandai bertahan gagasan
tentang nama jurusan atau pusat pelatihan. Ternyata, tak lain tak bukan adalah
“dodolan”. Dalam motif macam ini, pendidikan yang dihasilkan sulit melahirkan
pribadi-pribadi berkarakter. Murid-sarjana yang lahir dari pendidikan yang
mengabaikan pembangunan karakter akan bisa mengabdi pada apa saja. Moralitas
bukan utama, integritas tidak penting. Uang dan kekuasaan yang afdhol. Bahkan
kesadaran tentang dirinya sendiri dengan segenap fitrah kemanusiaannya
ditinggalkan. Diri yang meninggalkan Diri sendiri.
5. Wealth without work. Kekayaan
tanpa kerja, kesejahteraan tanpa usaha. Hasil tanpa proses. Jalan pintas yang
ditempuh: cara-cara instan, cepat, berhasil lipat. Biarkan orang lain yang
mengerjakan asal hasilnya untuk diri sendiri. Apakah pendidikan juga
mengajarkan agar bisa berlaku rumus demikian? Jika pragmatisme telah menjadi
laku, dan “kerja” sebagai penghormatan atas kemanusiaan semakin ditindas, maka
apa lagi yang tersisa untuk bisa dimuliaka? Kerja adalah mulia, dan pragmatisme
adalah ingkar pada kerja.
6. Pleasure without consciousness.
Kesenangan tanpa kesadaran. Mulai dari hanya mau senangnya dan emoh pada cara
mendapatkannya, sampai dengan lupa untuk apa kesenangan itu. Bukan tidak boleh
memperoleh kesenangan, namun penghiburan itu terletak pada kemampuannya
berbagi. Terbangun kesadaran, bahwa ada orang yang tidak bisa mendapatkannya;
sadar bahwa bisa jadi perolehan kesenangan itu terjadi dengan cara penyedihan
di pihak lain (uneven pleasure). Dengan begitu, penyenangan diri secara
demikian musti dihentikan.
7. Politics without principal.
Politik tanpa prinsip, tanpa ideologi kemaslahatan. Politik adalah perilaku,
manifestasi subyektifitas seseorang untuk terpenuhi haknya. Semua orang
berpolitik sehingga semua orang termanifestasikan subyektifitasnya. Ideologi
dalam politik adalah kendaraan untuk penghormatan atas perwujudan subyektifitas
itu, bukan penindasan. Pemuliaan atas subyektifitas warga negara sebagai kaum
tani, sebagai pejalan kaki, sebagai pemeluk keyakinan, sebagai pembelajar,
sebagai pengelola meja praja, sebagai guru, juga peniaga. Dengan segenap
pemenuhan hak-hak mereka. Yang berpinsip itulah “Yang Politik”. Politik menjadi
kotor tatkala tidak diletakkan di bawah prinsip kesejahteraan bersama, perayaan
atas subyektifitas multiragam. Maka itulah lembaga negara didirikan, namun
bukan untuk menjadi ekseku-thieve, legisla-thieve, dan judika-thieve. Jikalau
setiap orang adalah pewujud (atau penindas) subyektifitas, maka begitulah
setiap orang berpolitik.
(Ahmad Nashih Luthfi, Majalah Sandi edisi 34, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar