Senin, 15 Oktober 2012

Mengapa Anak Muda Emoh Pertanian?

Ilustrasi: Windi Wahyu Ningtyas
                 

            Anak Muda Emoh Pertanian, Mengapa? 
 
Keengganan itu merupakan AKIBAT, bukan SEBAB. Akibat dari menurunnya keterampilan anak muda dan pengetahuan mengenai pertanian. Pendidikan formal mengabaikan urgensitas pertanian. Akibat menurunnya kehidupan pertanian dan pedesaan sebab pembangunan dan kebijakan yang bias perkotaan dan ekonomi ekstraksi. Akibat tidak perhatiannya pemerintah terhadap pertanian skala rumah tangga dan infrastrukturnya, malah memilih pertanian skala industrial untuk pangan dan energi. Akibat diambilnya tanah-tanah untuk tanaman non-pangan bahkan non-pertanian baik secara terencana maupun spontan. Singkatnya, akibat-akibat struktural yang kompleks di luar kendali anak muda sendiri.



Jikapun anak muda ingin bertani, tidak ada akses atas tanah bagi mereka. Budaya patriarkis dan grontokrasi, dimana masyarakat berorientasi mementingkan orang dewasa ketimbang anak muda, tercermin dalam budaya mewaris. Warisan baru diberikan oleh orang tua menjelang mereka meninggal, kepada anak-anaknya yang juga telah berusia dewasa. Siapa yang akan tertarik memulai menjadi petani di usia 40-50 tahun? Akibatnya, tanah tetap ada di tangan orang tua/komunal.
Selain itu, ada masalah serius yang terjadi di keluarga pedesaan Indonesia, yakni keterlepasan tanah keluarga. Orang tua memodali anak untuk sekolah dengan menjual tanah. Orang tua memodali anak untuk bekerja (menjadi buruh kota) dengan menjual tanah, bukan malah memberinya tanah agar bisa bekerja di pertanian. Akibatnya, kedua-duanya kehilangan tanah, pemiskinan pedesaan.


Anak Muda, Korporasi, dan Negara

Meski dimana-mana negara terjadi urbanisasi, namun pertumbuhan penduduk di pedesaan terus bertambah. Lebih dari separo penduduk di negara berkembang tinggal di desa (Amerika Latin, Karibean, Timur Tengah, Afrika Selatan, termasuk Indonesia. Sejumlah 70 % dari mereka hidup miskin, 80 % dari mereka bekerja di pertanian. Pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar dunia. Sementaraterdapat fakta bahwa jumlah pengangguran  anak muda usia 15-24 dua kali lipat dibanding orang tua. Kemiskinan melanda anak muda.

Model pembangunan neoliberal menghancurkan kesempatan kerja banyak sektor sehingga terjadi surplus penduduk dan surplus tenaga kerja. Pembangunan industrial bukan penyedia pasar  tenaga kerja, malah banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terlepas dari (calon) tenaga kerja pertanian menjadi buruh, dan terlepas dari buruh menjadi pengangguran. Sebagian mengadu nasib menjadi buruh migran. 

Tidak ada kebijakan menyeluruh/mendasar oleh pemerintah. Buruh-buruh itu malah dipromosikan untuk menarik investasi. Keunggulan berinvestasi di Indonesia sebab negeri ini memiliki tenaga kerja murah, bisa di-outsourcing-kan (dan bisa dipecat sewaktu-waktu). Demikain promosi pemerintah terhadap investor asing maupun domestik. Menggiurkan bukan!  Itulah cara pemerintah dalam “menyalurkan” tenaga kerja Indonesia. Tak ubahnya sebagai penyalur jasa tenaga kerja.  Jika sudah tidak mampu lagi, inilah yang dilakukan, menggencarkan program enterpreunership. Seakan sedang berkata, “Silahkan berusaha sendiri, ciptakan kerja sendiri, kami tidak bertanggung jawab atas nasib kalian. Bersainglah dalam dunia pasar”.  Program entrepreneurship dikampanyekan, diajarkan, dipertontonkan bahkan dianugerahi dengan serangkaian award oleh banyak pihak. Kampus latah, korporasi senang, pemerintah ongkang-ongkang. Kewirausahaan cerminan belaka dari deagrarianisasi, footloose labor, ekonomi pasar yang homo homini lupus, dan tentu saja absennya negara. 

Tanah, masa depan pemuda dan pertanian, akan suram gambarannya jika struktur lebih luas mengenai kebijakan agraria dan struktur sosial-kebudayaan masyarakat Indonesia, masih berorientasi pada ekonomi skala besar korporasi dan bukan rumah tangga, serta patriarkis dan gerontokratif. Jika demikian, kemana arah transformasi masyarakat (agraria) kita?
(A. N. Luthfi, ringkasan ini diinspirasi oleh, unduh)

Tulisan selengkapnya, unduh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar