Minggu, 14 Oktober 2012

Cerita dari Warung Ulan

(Perjumpaan dengan Pramoedya Ananta Toer, 17 Maret 2006)

“Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
(Kata-kata Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer) 


Wajah Indonesia adalah KRL ekonomi yang berjalan terseok-seok dari Jakarta ke Bogor. Berkali-kali berhenti di stasiun, untuk mengambil penumpang, namun lebih sering leluasakan jalan gerbong-gerbong Pakuan yang bercat bersih untuk melaju cepat. Minggir-minggir, kasih tempat, ada orang kaya lewat!

Beragam bentuk manusia mengisi gerbong-gerbong rapuh, kekosongan mata, harapan yang tumpas, bau gembel tak mandi sekian hari, bau parfum bercampur dengan borok yang menganga di kaki pemuda likuran tahun, yang sengaja memamerkan untuk menyentil hiba dan recehan uang. Atau sekadar menggembirai hidup dengan suatu sorak, hai ini borokku mana borokmu, dan aku masih hidup!!! Pengamen merdu yang tuna netra, lima bersaudara, mencari-cari jalan di antara celah kaki yang menyapu lidi. Mereka berjalan dengan saling meletakkan tanganya di bahu kawannya, menyepur sambil menyenandungkan lagu terbaiknya.

Medan tempat duduk menjadi kemewahan yang memikat. Berdiri atau duduk, menjadi pembatas antara kepasrahan dan kemenangan. Atas semuanya, ada cerita yang tersisip, cinta dan romantika. Mahasiswa bercumbu kata, bahkan juga gerayang jari dan beha. Kenakalan yang menyimpulkan senyum di mata orang yang memandang. Bagaimana tidak. Pria gembel yang telah muntab onak seks-nya, tak ada uang tak ada makan tak ada nasi di perut. Yang tersisa adalah hasrat membuta di ujung kepriaannya. Membaui wangi di seputar kuping gadis tanggung yang lelah, tak perlu mencari kelemahannya, toh kalau ketahuan dipermaklumkan dengan kedekilannya. Setidaknya menghela bau busuk nafasnya, atau yang berani menyintuhkan tangan di gundukan pantat dan paha, menyengaja goyangan kereta dan jejal penumpang sebagai kawan sekomplotan dalam aksi kebirahian. Pelecehan seks menjadi kata yang ganjil di tengah kelelahan yang mematikan itu, meski saja layak disumpah-serapahi. Hanya saja terkadang telat.

Kita pernah bersumpah kawan, jangan pilih presiden yang tak pernah naik kereta ekonomi! Mereka tak tahu seperti apa Indonesia kita ini.

Bojonggede Bogor. Stasiun tujuanku dari Jakarta. Kuinjakkan kaki di stasiun yang riuh itu. Para pedagang buah, calon penumpang, penjaja koran, penjual minuman, dan para pengojek segera memanggil-manggil, A’ ojek, A’, sesegera aku diingatkan akan tanah pasundan. Kutampik, dan kupilih angkot untuk mengantarkanku ke sebuah nama jalan yang manis, Warung Ulan. Ke suatu rumah yang kuharap menjadi oase bagi kebisingan kota Bogor ini. Rumah seorang sastrawan yang berkali-kali menjadi nominator peraih nobel sastra, Pramoedya Ananta Toer.

Selepas dari angkot. Aku langsung menuju jalan Warung Ulan. Di depan jalan, sebelum melewati jalan kereta api yang penuh batu, aku ditanya seseorang yang bersandar di motor ojeknya, mau kemana A’? “Rumah Pak Pram mana ya Pak, Pramoedya yang sastrawan itu lho?”. “Oh, itu di depan, langsung aja. Rumah yang gede bertingkat itu”, jawabnya dengan ramah. Seakan sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu, “Pak Ojek” dengan terampil memberi keterangan. Aku jadi malu, satu kelancangan yang aneh bertanya sembari mengenalkan siapa Pramoedya.

Segera kutemukan rumah besar bertingkat, dikelilingi pagar yang kokoh dengan penuh sapuan mural. Dari pintu gerbang besi yang kokoh, kulihat sebuah rumah dengan beranda yang penuh poster bergambar Pramoedya, halaman luas berhijau lumut, bandulan, pohon-pohon yang merindangi terik, dan…hey kenapa di pintu gerbangnya tidak tercantol bel? Berkali-kali aku melongok agar mukaku kepergok. Namun tak kunjung ada sosok, yang barangkali iseng membuang dahak ke halaman, untuk segera menangkap tubuh lelah bertas penat ini. Sempat terpikir membalikkan badan, mengambil langkah dan melambaikan tangan ke “Pak Ojek” tadi. Pikir-pikir, “ah tolol nian aku, udah sampai di sini, mengapa membatalkan niat bertemu dengan sastrawan besar Indonesia, hanya karena tidak tahu cara membuka gerbang, dan takut dianggap lancang membukanya dengan tangan sendiri! Pramoedya tak akan membiarkan ketololanku ini”, cemooh diriku. Agaknya, rumah itu memang didesain agar tamu tak sungkan segera masuk membuka gerbang.

Permisiku bersambut. Muncul gadis cantik sekitar 20-an tahun, yang kemudian kukenal sebagai cucu Pramoedya. Sayang, sampai berpamitan tak sempat kuketahuai namanya. Aku memperkenalkan diri sebagai mahasiswa dari Jogja yang ingin ketemu dengan mBak Titik. Seakan mengerti maksudku, ia bertanya ingin bertemu dengan Bu Titik atau Pak Pram. Aku segera antusias menjawab: “Ingin bertemu Pak Pram!”. Aku menunggu Pak Pram sambil melihat foto-foto di ruang tamu, poster, dan piagam yang dipigura cantik tertempel di dinding. Muncul Pramoedya dengan beberapa butir keringat di leher dan mukanya. Segera kurebut tangannya untuk kusalami. “Saya Luthfi Pak Pram, mahasiswa dari Jogja,” kenalku. Ia mempersilahkanku duduk di meja kayu jati bundar. Berhadapan tiga puluh senti di depannya. Aku bertanya tentang kesehatannya. Ia menjawab, baik! Kesehatan ala orang tua, jelasnya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok Djarum Super dan lantas menawariku dengan pertanyaan: “Anda merokok?” “Tidak Pak Pram.” “Tapi dirokok kan,” balasnya. Bersamaan, langsung saja meledak tawa kami.

Pak Pram lantas menjelaskan, sehari dia bisa habis dua bungkus rokok. Tidak ada gangguan pada dadanya. Sebelum tidur ia melakukan latihan mengatur pernafasan. Bukan meditasi atau semacamnya, sebab ia tidak meyakini semacam itu. Cukup mengatur pernafasan saja. Selain itu, untuk menjaga kesehatannya ia setiap pagi berkebun, membersihkan halaman, dan membakar sampah. Ia menunjukkan ibu jari kanannya yang menderita luka bakar sewaktu membakar sampah. Kulihat celana training yang dipakainya penuh serpihan dedaunan, dan sepatunya terbercak tanah merah perkebunan.

Seusai berkebun, ia menghabiskan paginya dengan mengkliping koran. Ia mengumpulkan segala macam informasi tentang kondisi geografi Indonesia, yang konon sekarang telah terkumpul setinggi empat meter. Kliping itu sedianya dibuat Ensiklopedi Citra Indonesia, tentang geografi Indonesia, dari tingkat desa sampai kabupaten. Berisikan tentang sungai-sungai, jalan-jalan, saluran air, gunung-gunungnya, bebatuannya, hutannya, sumber daya alamnya dan sebagainya. “Kegiatan mengkliping ini bukan untuk saya, tapi untuk generasi muda mendatang, untuk generasi-generasi selanjutnya”, tegasnya.

Ya, bukankah karier Pramoedya lebih bermula dari kegiatan mendokumentasikan berita sewaktu bekerja di kantor berita Jepang, naik pangkat setelah sebelumnya menjadi tukang ketik dengan kemampuan 200 karakter permenit. Begitu juga saat dia ditawari oleh seorang Cina-Amerika untuk mengajar di Universitas Res Publica, ia menerimanya dengan menugasi mahasiswanya ke Perpustakaan Nasional untuk membacai surat kabar adalam satu tahun edisi yang disukainya, dan mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam setahun itu, sebab ia merasa itulah yang bisa dilakukan seorang dosen yang tak pernah lulus SMP dan tiada pengalaman mengajar (ijazah diplomanya dari sekolah radio di Surabaya tidak pernah diterimanya). Perpusnas yang semula hanya diisi oleh 5-10 orang bule, sejak saat itu ramai dikunjungi mahasiswa.

Sekonyong-konyong ia berceramah: “Pulau Jawa ditaklukkan oleh mobil Belanda yang lewat ke kampung-kampung. Orang Belanda dengan sombong mengendarai mobilnya, menemui bupati-bupati memerintahkan mereka tunduk. Begitu saja kemudian mereka pergi. Lantas bupati-bupati itu meneruskannya kebawah. Itulah yang disebut ‘Javanisme’. Javanisme masih menguasai birokrasi kita sampai sekarang”.

Tentang rumahnya sekarang, setelah sebelumnya tinggal di daerah Utan Kayu, ada menarik untuk sebuah cerita. Pada tahun 1999 ia diundang ke beberapa kota di Amerika untuk menjadi pembicara. Selama seminggu ia berada di sana. Setiap hari, 2 sampai 3 kali sebagai narasumber di suatu forum dengan fee sekitar 2000 sampai 6000 dolar. Wah! “Pulang-pulang penuh kantong saya!”, ujarnya bangga. “Hasil kerja saya belasan tahun, harta benda saya, dirampas sewaktu saya ditangkap. Rumah saya juga. Saya tidak dendam, dan sekarang saya balas dengan mendirikan rumah (megah) ini. Saya tidak dendam. Kalau dendam, bagaimana jadinya saya”. Rumah dengan luas seribu meter itu berdiri di tanah subur seluas 7000 meter persegi. Dihuni oleh ia dan istri, dan 4 orang anaknya yang masing-masing mendiami satu lantai rumahnya.

Ia mengaku karyanya telah diterjemahkan ke dalam 49 bahasa. Ada seorang produser luar negeri yang ingin memfilmkan “Gadis Pantai”. Pram meminta bayaran 1,5 milyar. Namun ia hanya bersedia 600 juta. Pram menolaknya. Ia mematok minimal 1,5 milyar untuk satu karya yang akan difilmkan. Paruh kedua tahun 2004 produser film Hatoek Soebroto dan Pramoedya Ananta Toer telah menandatangani kontrak pembuatan film Bumi Manusia. Sampai sekarang masih dalam tahap persiapan. Produser itu menjanjikan dua tahun bisa selesai. Kesulitannya pada persiapan artistiknya untuk latar cerita awal abad ke-20. Yah, Pram sendiri lupa dengan siapa ia menandatangani kontrak. Baginya kini, mengingat nama di perjumpaan lebih sulit ketimbang menulis sebuah novel dengan ketebalan 500 halaman.

Pendengarannya tinggal 50% barangkali. Ingat betul siapa yang membuatnya invalid itu. Koptu Sulaiman. Koptu Sulaiman lah yang menghantamkan gagang besi sten pada matanya. Pram dengan cepat memalingkan kepalanya dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipinya. Bersamaan itu, pendengarannya mulai merapuh. Saat ia ditawari alat bantu pendengaran oleh Mochtar Lubis sewaktu dikunjungi di Pulau Buru, Pram menolaknya karena ia berpikir tak ada gunanya. Tak ada guna ia mendengar suara kebrengsekkan di sana, ia hanya ingin berbincang dengan dirinya.

Dari mana Pram mendapatkan data untuk menulis novel setebal “Arus Balik” itu, padahal ia membuatnya sewaktu di Buru? Benar ia “mempunyai delapan ekor ayam” untuk mendapatkan kertas tulisnya, tapi dari mana nama “Wiranggaleng”, “Idayu”, “Rangga Iskak”, "Sayid Habibullah Almasawa si hidung bengkok”, Rodriguez dan Esteban” itu dalam cerita-cerita keruntuhan Majapahit yang semakin menyayup, dan Tuban menjadi arena perebutan berbagai kepentingan? Baginya, menulis adalah mengekalkan ingatan. Ingatan tak akan lenyap di kepalanya sampai dengan ia menuliskannya. Serupa ejakulasi, menulis adalah menumpahkan mani untuk menjadi embrio kehidupan, tumbuh daun, ranting dan wangi bebungaan. Sebagai lelaki, ejakulasi adalah batas mengaktifkan hormon kantuk. Dan pagi yang indah saat ia terbangun, saat itu juga ia terlupa telah terjadi apa semalam.

Dalam menulis Parmoedya mengaku terpengaruh dengan John Steinback (ia menerjemahkan bukunya yang berjudul “Man and Mice” selain karya Tolstoy dalam titel “Kembali Pada Cinta Kasihmu”). “Kalau membaca karya Steinback itu seperti melihat film”. Mungkin karena ini yang dalam gaya tulisannya kita menyimpulkan beraliran realis, realis sosialis tepatnya, sebagai sebuah “ideologi”.

Saat kutanya tentang apakah benar dalam “Gadis Pantai” ia menceritakan neneknya. Ia mengiyakan. Novel itu adalah “kisah imajinasi saya pribadi tentang nenek dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai”. Seorang nenek yang meski ditinggal suaminya, tak pantang menyerah untuk menghidupi anak-anaknya dengan menjual rongsokan¸ keluar masuk kampung, mengetuk berpuluh pintu mengumpulkan kaleng-botol bekas, peralatan makan yang pecah, plastik terburai dan semacamnya. Neneknya keturunan Cina-Arab. Rumahnya berdinding gedek (anyaman bambu) yang bagian bawahnya dilabur dengan tahi sapi untuk mengurangi angin malam yang menyeruak.

Pramoedya yang terlahir di Jetis Blora pada 6 Februari 1925 itu kembali mengenang keluarganya. “Kalau saya ingat dengan TBC itu, waahh! (sambil geleng-geleng kepala). Nenek saya, bapak saya, ibu saya, kakak, dan adik saya habis dimakan TBC itu. Padahal setelah tahu obatnya, itu luka-lukanya cukup ditutup dengan adonan kapur. Baru tahun 50-an ditemukan obat dalam bentuk serum, tapi wah mahalnya. Kita nggak kuat membelinya, dan itu harus antri ”. Tegas ceritanya, denang menerawang.

Tentang presiden sekarang bagaimana. Jawabnya, sampai sekarang itu belum lahir pemimpin. Presiden bukan pemimpin. Belum ada pemimpin seperti Soekarno. “Anak muda sekarang tahunya hanya senang-senang, tidak jelas mau kemana”, ujarnya dengan nada tinggi. “Kalau presiden sekarang gimana Pak Pram?”. “Nggak jelas juga”. “Mungkin Gus Dur ya Pak Pram?”. “Aaah, Gus Dur itu hanya mbanyolnya saja”, jawabnya tak bersemangat. “Justru sekarang Harto malah bisa hidup nyaman”.

Sampai sekarang perpustakaan pribadinya yang berada di lantai 3 rumahnya itu dikelola oleh anak Perpustakaan UI yang datang setiap hari Sabtu. Aku mengusulkan kenapa tidak mengundang sukarelawan (mahasiswa) yang basisnya pengagum Pramoedya untuk ikut membantu menangangi pengelolaan perpustakaan dan proyek klipingnya itu. Ia menjawab dengan tegas; “saya nggak tega meminta bantuan, orang-orang kita yang sudah miskin, masak kerja nggak digaji”.

Dalam usianya yang ke 81 sekarang, Pramoedya memang masih terlihat segar. Setiap hari ia makan bawang mentah untuk menurunkan kadar DB-nya yang pernah melonjak sampai angka 420. Ia menyayangkan tidak pernah mengenal Umar Kayam, yang sebelumnya kuceritakan. “Kalau saya kenal. Saya akan menyarankannya untuk membiasakan makan bawang putih seperti saya. Nggak perlu sampai 700 itu.” Seperti kita tahu kawan, ia berkarib dengan Wertheim dan peraih nobel dari Jerman itu. Yang kutahu, ia tak pernah membanggakan perkenalan-perkenalan itu. Ia berharap proyek klipingnya itu segera terwujud, segera ada sponsor yang menerbitkannya. Dan rumahnya terbuka untuk menjadi pusat kegiatan bagi para seniman-sastrawan, sembari mengeluhkan jalanan yang tidak manusiawi menuju kesana.

Kawan, aku tulis catatan perjumpaan ini khusus untukmu. Hanya untuk mengingat sebuah pesan:

“Bagi Saya yang namanya belajar adalah mempelajari manusia. Mempelajari manusia termasuk diri saya sendiri, untuk ditulis menjadi buku. Tapi yang dipelajari orang-orang di sini justru sebaliknya. Mereka membaca buku untuk mendapatkan petunjuk tentang apa itu manusia".
(Utuy Tatang Sontani dalam Di Bawah Langit Tak Berbintang)

Salam kasihku,
A. N. Luthfi
Sehari sepeninggal Pram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar