Minggu, 14 Oktober 2012

TIDAK ADA REFORMA AGRARIA TANPA STUDI AGRARIA

(Disajikan dalam acara simposium, “80 tahun Dr. Hc. Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc. Sc : Dinamika Reforma Agraria di Indonesia”, di Gedung Riset Perkebunan Nasional, Bogor, 16 September 2012)

Ahmad Nashih Luthfi

# I

Pada minggu awal bulan Agustus, bertepatan dengan bulan puasa tahun ini, saya bersama kawan-kawan Sajogyo Institute berkesempatan menemani Pak Wiradi melakukan napak tilas ke kota kelahiran beliau, Solo. Salah satu yang membuat saya terkesan adalah ketika kami berkunjung ke PG Colomadu. Pabrik ini menyimpan kenangan mendalam bagi beliau. Lori berdinding, atau disebut monting yang melintas dengan bel berdenting tatkala mengangkut tebu melewati jalanan Solo, demikian lekat dalam ingatan Pak Wiradi. Namun pemandangan itu tak lagi bisa dijumpai. Kondisi pabrik kini menyedihkan, tidak ada aktifitas produksi. Hanya ada aktifitas administrasi untuk produksi pabrik gula lainnya yang masih satu atap manajemen. Mesin dengan roda-roda penggilingnya yang besar, rel-rel lori dan kawat pagar pabrik dengan besi yang  kuat, tampak mangkrak di sana sini. Sisa-sisa kejayaan masa lalu hilang tertutup debu.

Melongokkan kepala untuk mengintip kondisi pabrik yang menyedihkan itu ternyata juga tidak mudah. Segera kami diarahkan untuk menemui manajer pabrik. Pak Wiradi mengiyakan. Dan seakan memahami rasa penasaran kami, beliau menjelaskan bahwa sebab mangkraknya pabrik tidak sesederhana seperti yang dijelaskan oleh sang manajer. Ada satu periode dimana pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah ingin diambil alih oleh perusahaan Tomy Soeharto, tahun-tahun menjelang keruntuhan Orde Baru. PG Colomadu termasuk salah satu di antaranya. Bukan semata-mata urusan manajemen dan bisnis, namun yang mendasar adalah masalah kekuasaan.

Penjelasan itu makin menegaskan saya bahwa Pak Wiradi adalah peneliti agraria, guru studi agraria, alih-alih guru reforma agraria, yang mengajak kami untuk menembus lebih dalam ke sebab-sebab mendasar.  Dalam kasus ini, saya ingat bahwa Pak Wiradi pernah melakukan penelitian yang menyoal tentang indikasi yang dimainkan oleh hampir semua level dalam rantai produksi gula dengan mempermainkan timbangan dan hitungan rendemen. Masalah agraria ternyata bukan hanya soal tanah, tenaga kerja, dan kapital, namun juga tentang bagaimana mengakumulasikannya melalui cara-cara korupsi dan penipuan. Cerita yang sedikit berbeda mengenai kongkalikong  adalah pemberian ijin konsesi perkebunan antara pemerintah dengan penguasaha yang menghiasi media massa hari-hari ini.

Tentang Pak Wiradi sebagai guru studi agraria (: kritis) daripada penganjur pelaksanaan reforma agraria inilah yang menjadi penekanan saya. Ia menyatakan bahwa reforma agraria tidak boleh asal, pokoknya landreform. Ia harus didahului oleh riset agraria untuk mengetahui apa problem agrarianya. Kalimat ini seakan-akan berbunyi, “Tidak ada reforma agraria tanpa studi agraria.  Tidak ada aksi-aksi revolusioner tanpa teori-teori revolusioner”.

Bagi saya, Pak Wiradi bukan hanya guru dalam saya belajar masalah agraria, khusunya sejarah agraria, namun dalam saya belajar sejarah itu sendiri. Hal demikian sangat saya rasakan tatkala menuliskan sejarah pemikirannya, yang kemudian saya tuangkan dalam buku, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: SumbanganPemikiran Mazhab Bogor, 2011.  

Bagian selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan topik yang diberikan oleh panitia, “Genealogi Studi Agraria Indonesia dan Reforma Agraria di Indonesia”, suatu topik yang sungguh berat, luas, dan ambisius. Saya tetap berangkat dari argumen bahwa “tidak ada reforma agraria tanpa studi agraria”.

Selengkapnya, unduh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar