Minggu, 14 Oktober 2012

Perebutan Makna dan Kuasa atas "Tanah Kosong"

Ahmad Nashih Luthfi [1]

Diskusi mengenai “tanah kosong” memanggil perdebatan panjang tentang beberapa konsep penting dalam kajian (sejarah-hukum) agraria, yakni tentang “domein verklaring”, “woeste gronden”, serta “the commons”.
Pada masa kolonial, perdebatan ini berkisar seputar apakah dalam mengatur rakyat Indonesia digunakan Hukum Barat (berupa Burgerlijk Wetboek) tanpa membedakan antar golongan, ataukah adanya pembedaan berupa diakuinya Hukum Bumiputra (baik dalam pengertiannya yang kemudian dimaknai sebagai recognition ataupun discrimination). Pilihan terakhir berarti mengakui adanya unifikasi atau yurisdiksi plural/multilevel.

1.      Pemerintah Kolonial menganggap tanah kosong sebagai domein negara
Kemunculan konsep “domein verklaring”dan “woeste gronden” tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme-industrial. Munculnya deklarasi domein atau pemilikan negara berakar jauh ke belakang dari keberadaan VOC (Vereenigde Ost-Indische Compagnie) dan WIC (West India Company). Memegang mandat tujuh provinsi Belanda Serikat, dua armada dagang itu dalam menjalin hubungan (: penaklukan) dengan kerajaan-lokal memiliki kewenangan menerbitkan hak keperdataan tentang kepemilikan tanah di wilayah yang dikuasai. Perjanjian yang mengikat dengan otoritas lokal menempatkan posisi mereka sebagai pemilik teritori dan tanah-tanah yang ada dalam lingkupnya terhisap ke dalam kepemilikan dan menjadi domein VOC/WIC.[2]
Dalam perkembangannya, seiring lahirnya pemerintahan Hindia Belanda-Timur, penerapan doktrin domein dikukuhkan melalui serangkaian peraturan-perundang-undangan (dari tahun 1856 hingga 1870) sampai dengan lahirnya Agrarische Wet 1870 yang semakin memantapkan prinsip tersebut. Prinsip ini berlaku pertama-tama di Jawa-Madura, kemudian daerah luarnya pada tahun 1875. Bunyinya adalah, “landsdomein is alle grond, waarop niet door anderen recht van eigendom wordt bewezen” (domein negara adalah semua tanah yang mana di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom oleh seseorang).
Birokrasi kolonial saat itu menafsirkan  secara berbeda-beda atas kata semua tanah:[3]
1)      Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom barat
2)      Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom barat dan hak eigendom agraris
3)      Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom barat dan hak eigendom agraris ataupun hak eigendom timur
4)      Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom barat dan hak eigendom agraris ataupun hak eigendom timur, dan hak penguasaan masyarakat adat

Jauh sebelum itu, penfasiran “secara luas” terhadap tanah-tanah yang dianggap sebagai domain negara berimplikasi pada keberadaan tanah-tanah yang disebut sebagai “woeste gronden”. Saat itu dikenal istilah “de bouwvelden” yakni tanah pertanian meliputi semua tanah yang telah diusahakan oleh seseorang; dan “de woeste gronden” (waste land) yakni tanah yang tidak diusahakan dan kemudian dilekati dengan istilah “tanah liar” sehingga ada dalam domein negara. Terhadap jenis tanah ini, rencana-rencana liberal rezim Willem I mengijinkan pemberian hak kepada perusahaan-perusahaan perkebunan swasta untuk kebutuhan industrialnya, dengan cara sewa jangka pendek atau panjang (pacht). Sebelum rencana ini dijalankan, J. C. Baud pada tahun 1829 melakukan penelitian tentang siapa sebenarnya pemilik atas “tanah liar” itu. Hasil penelitiannya merekomendasikan pelarangan pemberian hak tanah kepada perusahaan perkebunan jikalau tanah-tanah itu telah dibuka oleh seseorang, atau tanah itu termasuk dalam lingkungan desa, sebagai tempat penggembalaan umum ataupun dengan sifat lain.
Baud juga menemukan bahwa hak desa atas “tanah-tanah liar” berbeda di beberapa daerah: Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih kuat dibanding yang ditemukannya di Jawa Barat, Aceh, Bali, Madura, dan Bawean. Usulan Baud ini tidak lagi berarti tatkala dideklarasikan “domein verklaring” secara merata di wilayah nusantara, Jawa-Madura pada tahun 1870; Ambon pada 1872; Sumatera pada 1874; Manado pada 1877, yang berimplikasi bahwa semua tanah-tanah liar adalah domein negara dan hak menguasi tanah-tanah tersebut melulu ada di tangan pemerintah.
Di awal abad 20, van Vollenhoven membuka kembali perdebatan tentang domein verklaring tersebut yang merupakan dasar dari konsep teritori negara dan dibangunnya keberadaan perusahaan-perusahaan di atas hak yang diberikan oleh negara, serta penguasaan-pemilikan kawasan kehutanan dan upaya eksploitasinya. Ia menyatakan bahwa prinsip kepemilikan negara itu merupakan bentuk kekerasan, disebutnya sebagai “setengah abad pelanggaran hak” sebab menafikan hak-hak pribumi atas tanah. Menurutnya, tanah liar itu ada dalam hak masyarakat pribumi dengan apa yang disebut sebagai “beschikkingsrecht”.[4] Beschikkingsrecht ini tidak dikenal dalam hukum barat, BW (Bugerlijk Wetboek). BW hanya mengenal 3 jenis hak: eerfelijk  individueel bezitrecht (hak milik individual yang bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik komunal), dan gebruiksaandelen in communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan pemakaian bergiliran).[5]  Didefinisikannya “tanah liar” sebagai tanah tak bertuan sehingga dimasukkan sebagai “milik negara” memudahkan tanah itu dipergunakan untuk berbagai peruntukan utamanya mamfasilitasi masukknya modal, dan sebaliknya mengeksklusi (diistilahkan hak mengasingkan tanah) desa atau kemasyarakatan adat untuk mengaksesnya. Padahal pihak terakhir ini di dalam mendefinisikan (klaim) tanah adat tidak mengkategorisasi apakah tanah itu diusahakan atau dalam kondisi terlantar (sementara keterlantaran ini selalu ada ekspektasi untuk sewaktu-waktu dibuka, diusahakan, dan dikukuhkan sebagai hak individu).
Tegasnya, pemerintah kolonial melakukan kekerasan epistemologis dengan mendefinisi-kategorisasikan  secara luas “woeste gronden” dan mengenakan “prinsip domein”di atas tanah itu sehingga dengan legitimasi itu mengeluarkan eksistensi (hak) pribumi/adat dan memasukkan kepentingan lain (modal) sesuai keinginannya.
Sebagai contoh adalah periode Tanam Paksa. Tanam Paksa dilaksanakan melalui penanaman komoditas tertentu 1) di atas seperlima dari tanah-tanah yang telah dikerjakan untuk tanaman pangan; 2) di atas “tanah-tanah liar”, yakni tanah-tanah yang tidak diusahakan yang mana pengusaha dapat memperoleh kontrol dari pemerintah melalui sewa atau kontrak dalam jangka panjang. Sampai dengan tahun 1850, telah terdaftar 50 perjanjian penyewaan/kontrak atas “tanah liar” di Jawa seluas lebih dari 32.000 bau (23.140 ha), namun sekitar 26.000 bau (18.329 ha) yang diusahakan, dan sisanya “diterlantarkan”. Sekitar separoh (yakni 24) dari perjanjian itu adalah untuk ditanami kopi. Kopi umumnya di lereng-lereng rendah perbukitan, tebu dan indigo ditanam di lingkungan dataran rendah dengan populasi yang padat.[6]

2.      Perkebunan sebagai tanah kosong pada masa jepang
 “Keterlantaran tanah” pada masa Jepang berupa ditinggalkannya tanah-tanah perkebunan oleh pengelolanya yang berkebangsaan Eropa karena diinternir oleh Jepang. Di atas tanah-tanah itulah rakyat diharuskan menanam tanaman pangan untuk pertahanan perang. Pembongkaran hutan dan onderneming (perkebunan) mendapat sambutan rakyat tani. Puluhan onderneming dengan puluhan ribu hektare tanah diubah menjadi tanah pertanian rakyat. Tanaman onderneming berubah menjadi tanaman jagung, singkong, huma, kapas, dan jarak. Meski hasilnya untuk kepentingan perang, perubahan yang mendasar bagi rakyat adalah  bahwa mereka merasa pendudukan atas tanah-tanah perkebunan itu diperbolehkan dan sewaktu-waktu mereka akan menjadi pemilik atas tanah itu tatkala Jepang hengkang.[7]

3.      Aspirasi kemerdekaan menghapus prinsip domein; dan tanah kosong untuk pangan
Sadar bahwa akar masalah pengingkaran akan hak-hak pribumi atas keadulatan teritori (tanah) adalah karena diimaninya prinsip domein (memiliki) oleh negara, maka para pendiri bangsa, salah satunya adalah Soepomo yang merupakan murid paling menonjol—selain ter Haar—dari  van Vollenhoven, menghapus prinsip tersebut. Sebagai negara baru, berdasarkan asas sentralisasi dalam bingkai negara Kesatuan, diputuskan bahwa kepentingan negara harus di atas hak ulayat masyarakat hukum adat, yang mana negara kemudian memiliki Hak Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara (HMN) itu dirumuskan di dalam konteks historis bahwa negara memikul aspirasi kemerdekaan. Mereka berasumsi bahwa negara dibangun untuk mensejahterakan rakyatnya (negara budiman). Tidak terbayangkan bagi para pendiri bangsa saat itu bahwa dengan HMN negara bisa mempraktikkan suatu proses dan kepentingan yang mengakibatkan rakyat kehilangan hak atas tanah. Kesadaran tentang negara sebagai commonwealth mengaspirasikan mereka dalam merumuskan HMN.[8] Undang-Undang dasar 1945 pasal 33 (3) dan UUPA 1960 pasal 2 menegaskan pernyataan HMN ini. Singkatnya, pernyataan hak memiliki negara diganti dengan hak menguasai negara, dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria yang baru mengakui adat sebagai sumber hukum (pasal 5).
UUPA 1960 anti terhadap penelantaran tanah (membiarkan tanah menjadi kosong) sehingga jika diterlantarkan maka akan dicabut/dihapuskan dan dialihkan ke pihak lain, baik untuk jenis hak milik (pasal 27), hak guna usaha (pasal 34), hak guna bangunan (pasal 40). Hal ini mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial (pasal 6) sehingga pemanfaatan dan penguasaan oleh pihak lain dimungkinkan. Di sinilah tercermin bahwa hubungan manusia dengan tanah tidaklah semata-mata hubungan hak kebendaan (perdata) namun terkandung hak publik (refleksi dari pemahaman atas adat bahwa kekuasaan dalam urusan tanah terletak dalam komunitas)[9].
            Segera setelah kemerdekaan, langsung diupayakan dilakukan land reform. Penghapusan tanah perdikan dan redistribusi untuk kaum tani atas tanah perkebunan di vorstenlanden terjadi pada tahun 1948. Pada periode ini pula Menteri urusan Bahan Makanan, I.J. Kasimo, membuat Rencana Produksi Tiga Tahun (1947-1950) atau dikenal dengan Plan Kasimo. Kebijakannya berupa perintah penanaman tanah-tanah kosong, utamanya yang ada di Sumatera Timur seluas 281.277 ha. Pedesaan digiatkan dalam usaha tani, intensifikasi melalui bibit padi unggul, dibentuknya kebun-kebun bibit untuk rakyat, dan pemeliharaan hewan ternak sebagai alat produksi pangan, serta dilaksanakannya transmigrasi. Kesemuanya dalam rangka swasembada pangan.[10]  Kelaparan yang melanda rakyat Indonesia selama periode Jepang sebelumnya sampai dengan masa Revolusi harus segera diatasi dengan berswasembada pangan melalui cara-cara penanaman di atas tanah-tanah kosong.

4.      Tanah untuk pembangunan orde baru
Pada masa Orde Baru, terjadi reorientasi “kepentingan nasional” yang menghegemoni kepentingan rakyatnya. Kebijakan pertanahan diarahkan untuk mendukung pembangunan baik oleh pemerintah maupun swasta. Terjadi “reverse land reform” dari yang seharusnya untuk rakyat menjadi untuk swasta. Berbagai ketentuan UUPA yang tidak sejalan dengan kepentingan Orde Baru diabaikan, ditafsir ulang, dan dihindari. Secara bersamaan legislasi sektoral atas ekstraksi sumberdaya alam mengeluarkan areal tanah yang termasuk dalam kawasan hutan dari ketentuan UUPA. UUPA (1960) “disubversi” oleh Undang-Undang Pokok Kehutanan (1967) dan Undang-Undang Penanaman Modal (1967) yang memfasilitasi pemberian ijin usaha pertambangan.
Dalam konfigurasi politik-ekonomi semacam itu, prinsip Hak Menguasai Negara ditafsir-praktikkan sebagai Hak Memiliki Negara sehingga sering didengar penyebutan secara salah kaprah tentang “tanah negara”. Tragisnya lagi, di kawasan kehutanan, dimana sekitar 70% dari total daratan Indonesia ada di dalam yurisdiksinya, definisi tentang kawasan kehutanan dalam UUPK 1967 mencerminkan prinsip “domein verklaring” sebagaimana regulasi kolonial yakni Undang-Undang Kehutanan 1927 dan Peraturan Kehutanan 1932.[11]

 5.      Pasca Orba, perjuangan menuju kepastian dan keadilan tenurial
Tampilan struktur agraria yang timpang menghasilkan konsentrasi aset yang sangat tidak adil, konflik struktural yang akut, dan proses pemiskinan dalam skala luas. Kondisi inilah yang melatari bangkitnya aksi-aksi protes agraria dalam berbagai bentuk (termasuk reklaiming) yang merebak luas pada era pasca Orde Baru. Sekedar ilustrasi, petani mulai menggarap padang golf di Cimacan (1998), penguasaan atas kebun coklat dan tanah kosong yang dimiliki PT Citra Lamtorogung Persada di Lampung (1998), petani membuka saluran irigasi untuk memperoleh air di Aceh (1998), petani menghancurkan panen PT Perkebunan Nusantara II Kebun Batangkuis di Medan (1998) reklaiming peternakan Suharto di Tapos, dan tuntutan pencabutan hak pemakaian tanah untuk pertanian (HGU) yang diberikan kepada PT Rejo Sari Bumi (2000). Bahkan kala itu Presiden Abdurrrahman Wachid membuat pernyataan yang mengijinkan aksi-aksi, sebab menurutnya tanah-tanah yang dikuasai oleh perkebunan itu semula adalah milik rakyat.
            Di tengah ketimpangan penguasaan tanah yang demikian akut dan gejala pencerabutan manusia atas tanah dan pertanian (deagrarianisasi), di sisi lain dijumpai fakta adanya penelantaran tanah. Penyebabnya macam-macam, salah satunya adalah tanah dijadikan barang dagangan (komoditas) sehingga menjadi objek spekulasi, atau cadangan untuk investasi pembangunan. Penelantaran tanah oleh pemerintah (atau badan usaha negara) disebabkan keterbatasan biaya pengelolaan yang bersumber dari dana publik, sebab ketidakseriusan, atau bahkan salah urus. Mengatasi hal demikian, maka pemerintah membuat serangkaian kebijakan tentang pemanfaatan tanah kosong dan penertiban tanah terlantar. Beberapa regulasi yang mengaturnya:

1)      Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
2)      Permen Agraria/Perkaban nomor 3 tahun 1998 tentang pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan. Ditegaskan lagi dengan,
3)      Pasal 2 ayat (1) dan (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor. 34 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, huruf g mengenai pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
4)      PP no 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
5)      Peraturan Kepala BPN no 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Dari penghitungan BPN pada tahun 2010, telah teridentifikasi 7,3 juta ha tanah terlantar (kota-desa); dengan 3,1 juta ha tanah terdaftar atau setara dengan 133 kali luas Singapura. Tanah-tanah terlantar itu sejumlah 15,32% adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah atau BUMN, sisanya oleh swasta dalam bentuk HGU (1,935 juta). Potensi kerugian yang ditimbulkan dari tidak dimanfaatkannya tanah terlantar tersebut adalah Rp. 6000 triliun/5 th. Pemerintah mengagendakan pendayagunaan tanah terlantar sebagai obyek Reforma Agraria/PPAN. Dari target 8,1 juta ha obyek PPAN, sebesar 7,3 disumbang dari tanah terlantar. [12]
Catatan kritis yang bisa diajukan terhadap regulasi di atas adalah bahwa terdapat “pasal karet” mengenai pengecualian obyek tanah terlantar, berupa didefinisikannya keterlantaran itu dengan faktor “kektidaksengajaan”. Faktor ini menyulitkan penetapan indikator dan cara mem-verifikasinya. Juga tentang penetapan obyek tanah terlantar. Pengecualian obyek tanah dalam kategori yang dikuasai oleh pemerintah (langsung-tidak langsung) dan sudah atau belum berstatus barang milik negara/daerah, mengabaikan kenyataan bahwa fakta keterlantaran tanah yang demikian tinggi dengan ekskalasi konflik pertanahan yang tinggi pula (misalnya di PTPN-PTPN), justru ada di tanah-tanah dalam kategori kuasa pemerintah itu. Maka tidak mengehrankan jika political will lemah untuk segera mengeksekusi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tersebut.
Pada tingkatan birokrasi terdapat kekeliruan mendasar adanya pemahaman bahwa PP no 11 tahun 2010 itu tidak bisa dijalankan tanpa disertai adanya PP Reforma Agraria. Sementara di sisi lain telah dilaksanakan kebijakan PPAN di beberapa tempat, yang mana kebijakan ini disebut sebagai Reforma Agraria. Telah ditegaskan juga bahwa PP no 11 tahun 2010 ini mengalokasikan  pendayagunaan tanah terlantar untuk reforma agraria.

6.      Contoh kasus Tanah Terlantar di Yogyakarta
Setiap Kantor Wilayah BPN memiliki bagian yang menangani bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka melakukan pengendalian terhadap tanah-tanah yang telah dilakukan pendaftarannya dalam berbagai bentuk hak. Dalam rangka pengendalian itu diperoleh angka sekitar 300 hektar tanah yang diidentifikasi terlantar (kota-desa). Dengan keluarnya PP no 11 tahun 2010 yang mengecualikan tanah yang dikuasai oleh pemerintah sebagai obyek tanah terlantar, maka akhirnya hanya ditetapkan 62,1038 ha atas 15 subyek hak.[13]   Jenis hak umunya adalah HGB.
            Di masa lalu, pemanfaatan tanah terlantar dalam praktik dan definisi formal dilakukan oleh instansi pemerintah non-BPN, yang dapat bekerjasama dengan pemegang hak serta diatur oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh adalah pemanfaatan tanah kosong di Kabupaten Bantul melalui program ABRI Manunggal Pertanian (AMP). Ada dua jenis pemanfaatan yakni dilakukan oleh masyarakat sendiri dan dilakukan oleh instansi pemerintah. Program pertama berupa pemanfaatan atas tanah tujuh pengembang perumahan. Mereka ini menguasai tanah cukup luas dan seluruh atau sebagian tanahnya masih dalam keadaan kosong. Pengembang tersebut adalah Perum Perumnas, Koperasi BKUK Dekopindo, PT. Nuscon Asri, PT. Aditra Graha Asri, PT. Heksana Adi Gatra Mulya, PT. Lita Internusa, dan PT. Griya Mataram Singgasana. Dalam pengakuan pengembang, penelantaran itu disebabkan faktor ekonomi berupa suku bunga tinggi sehingga mereka kesulitan mendapat kredit bank untuk pembangunan perumahan, serta krisis ekonomi tahun 1999 yang mengakibatkan rendahnya permintaan pembangunan rumah. Pemanfaatan yang dilakukan adalah penanaman kembali tanah kosong oleh pemilik semula di atas tanah pengembang.
Program kedua adalah berupa penanaman tanaman pangan oleh ABRI (Kodim 0729 Bantul) sebagaimana dinyatakan oleh Surat Keputusan Penanggung Jawab Operasi ABRI Manunggal Pertanian No. Skep/06/IV/1998. Penanaman dilakukan di atas tanah-tanah kosong masyarakat melalui sistem bagi hasil, yang mana pemilik mendapat 60% hasil serta upah tenaga kerja jika mereka sendiri yang mengerjakannya.[14]
Dalam dokumen resmi, program inilah yang sering dicatat sebagai bentuk pemanfaatan tanah terlantar, mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat luas dengan definisi mengenai tanah kosong dan dihadapkan pada kondisi aktualnya, telah banyak memanfaatkan tanah-tanah yang dianggap kosong/terlantar tersebut.

 7.      Penutup
Melalui penelusuran sejarah hukum tentang tanah kosong (tanah liar, tanah terlantar, woeste gronden, waste land) atau dengan sebutan lain, ditunjukkan bagaimana ia didefiniskan, dikategorisasi, diatur dan dipraktikkan dalam berbagai bentuk penguasaan dan pemanfaatan. Tanah kosong tidaklah benar-benar kosong, sebab selain menyediakan tempat hidup bagi berbagai jenis tanaman dan hewan di atasnya (organisma), ia juga dipenuhi dengan berbagai pemaknaan dan praktik penguasaan baik aktual maupun potensial. Tatkala ia didefinisikan “kosong”, negara atau siapapun hadir “mengisinya” dan memasukkan atau mengasingkan pihak-pihak lain dalam proses pengisian itu. Dengan demikian kekosongan selalu bersifat relasional. Di dalam relasi itulah sekumpulan hak (a bundle of right) dikonstruksikan, dan sehimpunan kekuasaan (a bundle of power) dirumuskan.Hak dan kekuasaan untuk mengakses "tanah kosong" oleh rakyat itulah yang diperlukan, tidak harus memilikinya dalam pengertian formal.
Pasca Soeharto hingga kini, semakin kuat tampak bahwa berbagai aktor memiliki argumen dalam mengkreasi cara dan kesempatan untuk menegosiasikan hubungan kepemilikan (property relations) dan menjustifikasi pemahaman mereka mengenai kondisi aktual, klaim, dan solusi di dalam terminologi legal-formal. Pemahaman ini terbentuk seturut dengan pegeseran hubungan antara negara, adat (desa, ulayat, nagari), dan rakyat yang masing-masing memiliki hubungan kepemilikan.
Dalam pemahaman masyarakat, sebagaimana telah ditegaskan oleh van Vollenhoven awal abad 20, tanah kosong itu sebenarnya adalah “the commons”, dimana semua orang bisa mengaksesnya, mengambil manfaat atasnya entah berupa ladang penggembalaan, hutan untuk diambil hasil kayu dan pangannya, ataupun sungai dan lautan. Pembatasan dan pelarangan atas “the commons” semakin naik dari tahun ke tahun seturut dengan menguatnya otoritas negara (negaraisasi tanah) dan ekspansi kapital-industrial. Pembatasan itu terjadi melalui pendefinisian atas tanah kosong-tanah negara, areal konservasi hutan-resapan air-karbon-hewan lindung, dan sebagainya.
           

 Daftar Pustaka

 á Campo, J.N.F.M., “Munculnya Perusahaan Korporat di Indonesia pada Masa Kolonial, 1893-1913, dalam Thomas J. Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: PSSAT-UGM dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 96
Burns, Peter, “Adat, yang Mendahului Semua Hukum”, dalam  Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, (eds.), Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010
Fasseur, Cornelis, The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System, Ithaca:  Southeast Asia Program, Cornell University, 1992
Safitri, Myrna A. dkk., Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia, Jakarta, 7 November 2011 (edisi revisi).
Sato, Shigero, War, Nationalism, and Peasants Java Under the Japanese Occupation 1942–1945, Australia: Allen & Unwin, Ltd. 1994
Termorshuizen-Arts, Marjanne, “Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010
Vollenhoven, C. van, Orang Indonesia dan Tanahnya  yang dalam bahasa Belandanya ditulis tahun 1919. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, 1975
Wibawanti, Ema Sri dan Maria S.W. Sumardjono, "Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Bantul”, Sosiohumanika, Mei, 2001.






[1]  Makalah diskusi di Kunci Cultural Studies, 24 Februari 2012 
[2] Marjanne Termorshuizen-Arts, “Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, (HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010), hlm. 35-41
[3] Untuk diskusi ini lihat, C. van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya  yang dalam bahasa Belandanya ditulis tahun 1919. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, 1975. Lihat hlm 34-35.
[4] Hak ini diterjemahkan sebagai  “hak pertuanan” (Prof. Soepomo), “hak purba” (Prof. Djojodigoeno), atau “hak menguasai” (Prof. Notonagoro), dan “hak ulayat/adat” (UUPA 1960).  Diskusi tentang adat sebagai yang mendahului semua hukum (custom, that is before all law), disajikan secara kritis oleh Peter Burns. Dalam tulisannya, ia menantang argumen van Vollenhoven melalui tesisnya bahwa adat bukanlah sesuatu yang ditemukan namun diciptakan, suatu ciptaan Belanda; serta  pentingnya mentransformasikan adat menjadi hukum. Lihat, Peter Burns, “Adat, yang Mendahului Semua Hukum”, dalam  Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, (eds.), Adat dalam Politik Indonesia, (Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010). Perdebatan esensialisme vs konstruktivisme adat tidak menutupi kenyataan dilanggarnya hak-hak pribumi dalam praktik eksploitasi tanah dan mobilisasi tenaga kerja (oleh negara/swasta). 
[5]  Van Vollenhoven, op.cit., bab I.
[6] Cornelis Fasseur, The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System, (Ithaca:  Southeast Asia Program, Cornell University, 1992), hlm 28 dan 99. Pada era Liberal, jumlah perusahaan-perkebunan naik tajam dari 1500 (tahun 1890) menjadi 2500 (1913). Setiap perusahaan memiliki jumlah perkebunan yang variatif; 1, 3, hingga 20 perkebunan. Lihat  J.N.F.M. á Campo, “Munculnya Perusahaan Korporat di Indonesia pada Masa Kolonial, 1893-1913, dalam Thomas J. Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: PSSAT-UGM dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 96
[7] Simak misalnya, Shigero Sato, War, Nationalism, and Peasants Java Under the Japanese Occupation 1942–1945, (Australia: Allen & Unwin, Ltd. 1994)
[8] Hal ini berbeda sekali dengan rezim kolonial bahwa atas nama domein verklaring mereka bisa mengambil alih “tanah-tanah terlantar” milik adat; dan rezim Orde Baru yang atas nama Hak Menguasai Negara dapat melakukan pengadaan tanah untuk Pembangunan atau Kepentingan Umum yang dipraktikkan dengan cara-cara pengusiran terhadap rakyat (komunitas adat).
[9] Pada masa sekarang, pemahaman ini diwujudkan misalnya dalam pendaftaran tanah milik pribadi (transaki atau balik nama) yang mengikut-sertakan kepala desa (bukan sebagai penentu namun pencatat dan atau saksi belaka).
[10] Di sini mulai dikenal pula pendidikan orang dewasa dengan peserta pemuda-pemudi tani berumur 18-25 tahun. Mereka tanpa ujian masuk/keluar dan tamat untuk kembali bekerja di pertanian. Pendidikan ini dikenal dengan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) yang sejak Oktober 1947,  BPMD merupakan bagian dari “Plan Kasimo”.
          [11] Baru muncul UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mendefinisikan ulang kawasan hutan; dan negara (melalui kemenhut) hanyalah salah satu pihak yang memiliki hak penguasaan (bedakan dengan Hak Menguasai Negara) di antara pihak-pihak lain (masyarakat adat, swasta, pribadi, dsb.). Namun dalam praktiknya, pemahaman atas prinsip domein ini masih saja terjadi. Kalangan masyarakat sipil mengusulkan pengukuhan tata batas kawasan hutan dan penguasaannya sehingga didapat kepastian, serta penyelesaian konflik dan perluasan kawasan kelola rakyat untuk peningkatan kesejahteraannya. Fakta bahwa baru ada 12% (14,24 ha) dari total 130,68 juta ha yang ditetapkan, sehingga sisanya bisa dianggap sebagai “open access” atau sebagai “tanah kosong” yang tak bertuan. Sementara fakta lain menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa (hitungan BPS) yang berada “dalam” atau “di sekitar” kawasan hutan yang 71,06% menggantungkan hidupnya dari hutan. Mayoritas mereka dalam kondisi miskin dan terancam dengan tuduhan “perambah” atau pelaku kriminal tatkala mengakses hasil-hasil hutan. Simak, Myrna A. Safitri, dkk., Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia, Jakarta, 7 November 2011 (edisi revisi).
[12] Keynote Speech Kepala BPN di Dewan Guru Besar UI, 12 Mei 2010
[13]  Keterangan audiensi  dengan jajaran Kanwil BPN DIY dalam rangka sosialisasi PP no 11 tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN no 4 tahun 2010 tentang Tanah Terlantar, Yogyakarta 12 April 2010.
[14] Ema Sri Wibawanti dan Maria S.W. Sumardjono, "Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Bantul”, Sosiohumanika, Mei, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar