Minggu, 14 Oktober 2012

Deagrarianisasi: Pemanggul Kapak di Sudut Kota

Kompas Jogja, Rabu, 11 Juni 2008



Mengelilingi kota tidak hanya mengitari jalanan, menyuntuki reklame dan papan iklan. Kota tak hanya berisi kendaraan, bangunan-bangunan megah supermarket, papan nama jalan, kompleks pemerintahan, dan gempita pertunjukan musik di alun-alun. Menulis kota adalah menulis manusia-manusia yang mengisinya. Melihat geliat perubahan kota berarti menyimak perubahan berpikir dan bertingkah laku masyarakat dan pengelolanya. Demikianlah, maka kampung di perkotaan.
            Penjual remote televisi dan korden dari tanah Sunda, penjual jamu dari Klaten, penjual mie ayam atau bakso dari Gunung Kidul, nasi goreng/ sate gerobak dari Madura, dan berbagai penjaja lainnya mewarnai kehidupan kampung dan perumahan kota. Simak saja di kampung Blunyah Gede, Tegalrejo, Terban, atau Sagan.
Mereka itu adalah para pendatang dari penjuru desa. Dengan spesifikasi jenis barang atau daerah asal, mereka menetap di tengah-tengah penduduk asli Jogja. Oleh pemerintah kota (bahkan level nasional), mereka digolongkan sebagai pelaku ekonomi sektor informal. Keberadaannya tidak diperhitungkan, sebab dinilai tidak mengisi pendapatan pemerintah. Namun tentu berjasa bagi sanak keluarga di rumah.
Kita saksikan bersama, dalam beberapa tahun terakhir jumlah mereka dan keragaman produknya semakin meningkat.  Bahkan sekarang terdapat penjual jasa tebang pohon. Satu profesi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah pemandangan yang saya jumpai. Dengan memanggul kapak, dilengkapi dengan tambang besar, gergaji, dan golok, berjalan kaki 2-3 orang berkelompok menelusuri kampung dan perumahan. Dari pagi hingga petang. Dilihat dari alat produksinya, barangkali mereka lebih sering diminta menumbangkan batang pohon daripada memangkasnya. Lalu, di atas pohon yang ditumbangkan berdirilah bangunan. Bisa jadi tanah yang semula pekarangan berubah menjadi taman. Bagi penyewa jasa tebang, merawat bebungaan lebih mudah dibanding menyapu dedaunan pohon yang berguguran. Atau juga sebab gengsi. Maka suasana kampung berubah menjadi “suasana perumahan”.  Bila telah berubah seperti ini, para “penebang” itu tentu berpikir alih profesi. Sebagai juru taman misalnya. Yang patut dipikirkan adalah, siapakah mereka, darimana, dan mengapa mereka memilih pekerjaan itu? Cerminan apakah ini?
            Sektor informal, oleh sebagian pakar menjadi tanda kemerosotan ekonomi industrial. Ia sebagai katup penyelamat. Kenaikan BBM dan pemadaman listrik, serta persaingan dengan produk impor misalnya, sering menjadi sebab ambruknya perusahaan-perusahaan skala menengah. Buruh-buruh perusahaan lantas di-PHK. Mereka yang semula anak-anak desa yang terusir dari pertanian, sebab tiada tanah yag dikelola atau panenan yang tak menjanjikan, berusaha tetap bertahan di perkotaan. Mendorong gerobak, meneriakkan “sol sepatu!”, atau “hording-hording”, adalah siasat bertahan hidup. Jarang yang mencoba kembali ke pertanian.
Suatu keanehan, bila sektor ini dinilai tidak mendukung perubahan. Tanpa menunggu inisiatif kaum intelektual, LSM atau pemerintah, mereka terus berjuang. Bila di Bali para penjaja adalah mantan bangsawan yang telah hilang kekuasaan, dan di Jawa Timur adalah kaum santri, maka di sini, mereka adalah korban dari proses de-agrarianisasi. Korban dari pendisiplinan modernitas pembangunan.
Ketika alat produksi telah berubah fungsi. Kisah pemanggul kapak adalah cerita tentang hubungan desa-kota kita. 
(Ahmad Nashih Luthfi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar