Sabtu, 13 Oktober 2012

Dekonstruksi Keistimewaan Yogyakarta dengan Mencari Makna Kesehariannya


Dekonstruksi Keistimewaan Yogyakarta dengan Mencari Makna Kesehariannya1

Ilustrasi
Berikut yang saya catat dari facebook setahun lalu ketika Yogyakarta merayakan ulang tahun. Komentar dan status facebook bertebaran. Ada yang cukup mengatakan, “Dirgahayu Yogyakarta”; “Selamat Ulang Tahun yang ke-255 kota Jogja. Kamu selalu istimewa!”. Beberapa kawan yang tinggal di kota mengkaitkan keistimewaan itu dengan pengalaman-pengamatan keseharian mereka begini: 


-        “Mangkubumi unt sepeda dn kendaran non mesin. Warga Yogya butuh tempat unt bersosialisasi scr terbuka pak Walikota!”.
-        “ Stop membangun pusat perbelanjaan, sdh terlalu banyak!”.
-        “ Bangunlah fasilitas terbuka yg menyehatkan spt arena unt skateboard, taman2 yg rindang unt jogging, jalan sehat, unt olahraga anak2, kaum diffabel dn lansia, bahkan unt main orkes”.
-        “Mari kita jadikan Yogya wilayah yg humanis, sehat dan berbudaya”.
-        “They should make Malioboro pedestrian only plant some trees and have outdoor cafes”.
-        “Stop bangun hotel raksasa (diam-diam sudah 6 hotel raksasa berdiri di jalan-jalan yogya yang sempit)... :(“
-        “kali ini saya merasakan betul-betul bahwa Jogja semakin semrawut terutama di masalah tata kota dan transportasi. Saya kurang tahu, kebijakan bus TransJogja apakah akan mampu menyelesaikan permasalahan transportasi. Dominasi motor yang “tidak terpelajar” di kota Jogja benar-benar menyesakkan dada ini”.
-        “Fenomena perebutan lahan parkir di Jogja menjadi kasus nyata bagaimana masyarakat mulai melihat ruang budaya sebagai sumber ekonomi”.
-        “Parkir di Yogya, ancaman bagi mahasiswa. Masak pergi ngeprint, foto kopi, beli makan, terus mampir ke warnet sebentar kirim tugas, harus ngleluarin parker 4000 rupiah. Untuk makan aja cuma 7000”.
-        “Siapa sebenarnya tukang parkir itu? Menurut anda, itu termasuk sebuah pekerjaan atau bukan? Ato itu Pemalakan??”.
-        “Denger-denger, parkir di Jogja dikuasai Java Parking ya? Milik siapa sih itu?”
-        "Semua warga ramai-ramai bangun masjid, bunyi adzan bersahutan dimana-mana. Tidak merasa bahwa ada orang yang terganggu. Pas puasa, ada bentrok pawai lampion antar remaja masjid yang berbeda".
-        “Di pintu rumah tertulis ‘Menerima Kos Putri Muslimah’ atau ‘Menerima Kos Khusus Muslim’. Relasi sosial masyarakat Yogykarta sekarang tidak hanya dibelah oleh perenggangan hubungan sosial berdasar ekonomi, tetapi juga agama. Apa kabar toleransi Jogja?”.

Semua bicara tentang bagaimana ruang (kota) harusnya dikelola dengan baik: scara spasial, visual, dan audio. Dari pengelolaan ruang inilah akan terlihat dan rasakan eksistensi “keistimewaan” suatu kota.

Banyak yang menyayangkan dimana-mana penuh poster. Iklan pemulus wajah yang gedenya naudzubillah, mengkontraskan wajah halus dengan wajah yang jerawatnya kelihatan segede onde-onde. Baliho-Poster dan berbagai atribut makhluk-makhluk modal yang bergentayangan di ruang perkotaan Yogya itu bisa membuat wajah kota sama di mana-mana, di semua tahun. Makhluk-makhluk itu bisa menggeser penanda tradisional yang memiliki akar  seperti, “cedak pertelon Mrican” menjadi “dekat counter Bla****ry yang posternya paling gede”.

Jogja juga semakin penuh poster-baliho bergambar “mahasiswa ngekep buku lebar” (atau mungkin map?), yang mringis di pinggir-pinggir jalan atau perempatan. Terpampang besar secara mencolok. Ini menandai semakin main-main dan komersialnya pendidikan. Jikapun disetarakan barang, pendidikan menjadi lebih memiliki nilai tukar ketimbang nilai guna. Iklan perguruan tinggi, cermin “kedangkalan daripada kedalaman” pengetahuan: gedung mentereng, mahasiswa rupawan,  fasilitas internet cepat, foto orang tenar. Semua sebagai daya tarik penjualan.



Di desa-desa Jogja, entah apa yang terjadi. Di pinggir selatan, seorang petani yang terancam lahannya oleh penambangan besi suatu perusahaan menyatakan demikian, “mangga lah mau istimewa-istimewa, super istimewa, atau paling istimewa, silahkan terserah. Kami nggak mau tahu soal itu. Tapi yang jelas itu, mbok tanah-tanahnya itu untuk rakyat. Tanah itu untuk rakyat, bukan untuk pejabat atau pengusaha. Saya cuman itu tok kok. Jangan jual-jual seenaknya lah”.

Atau, pandangan seorang pujangga Paku Alaman seperti ini, “kalau kita menyadari, peranan jogja itu adalah pertanggung-jawabannya terhadap rahmatan lil ‘alamiin. Rahmatan lil’alamin kuwi ora ketok, tapi bisa dirasakan”.

Konsekuensi
Momentum penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta  dapat menjadi kesempatan untuk menegosiasikan kembali hubungan horisontal masyarakat Yogyakarta dan secara internal masyarakat Yogyakarta dengan pihak keraton-kadipaten  dalam bentuk “new citizenship”, melebihi negosiasi elitis antara  keraton-kadipaten  dengan pemerintah pusat. Negosiasi terakhir ini terkesan mengartikulasikan “kontrak politik” yang berkutat pada isu pergantian kepemimpinan dan mekanisme pengisiannya.  Sementara bagaimana masyarakat Yogyakarta memaknai kembali diri secara sosial dan budaya, ruang spasial perkotaan-pedesaan,  dan kepemimpinan, yang demikian ini semestinya menjadi “kontrak sosial” baru, justru tampak diabaikan. 


Buku  kami berjudul Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan yang dibuat secara paket dengan film dokumenter berjudul Kapitalisme Mengebom Yogyakarta (2009) mencoba melihat perubahan Yogyakarta melalui pertanyaan mendasar berupa: apa yang dilakukan oleh pemangku kebijakan Yogyakarta ketika arus komersialisasi-kapitalisasi merangsek ke segala arah, termasuk di Yogyakarta.  Apakah Yogyakarta mengkreasi strategi dan kebijakan yang dinilai distingtif sehingga mampu menampakkan nilai keistimewaan Yogyakarta yang substantif yang dirasakan oleh warga(negeri)-nya dalam keseharian mereka? Perubahan yang kami amati terhadap empat aspek yakni pengelolaan ruang spasial perkotaan, pendidikan, kebudayaan, dan masalah agraria di pedesaan, mengindikasikan jawaban yang negatif, sebagaimana juga yang diilustrasikan dalam laman internet di atas (2011).

Perubahan yang dihadirkan oleh keempat aspek tersebut mengarah pada proses komersialisasi dan komoditisasi. Mulai terjadi “pemagaran” (enclosure) terhadap (1) ruang publik kota dengan maraknya fenomena parkir dimana-mana, baik resmi maupun tidak, dijejalinya ruang (kota) dengan baliho-baliho iklan yang menghapus pandangan dan ingatan orang atas penanda tempat, homogenisasi (dalam tahapan tertentu dapat mengarah pada fundamentalisasi aliran)  kos-kosan dan tempat ibadah;  tergesernya pasar tradisional oleh berkecambahnya toko waralaba monopolistik yang buka 24 jam; suburnya mall dan hotel (2) menjamurnya lembaga pendidikan yang semakin mahal namun terkesan dikelola secara main-main; (3) dijadikannya “sekatenan” menjadi pasar raya dan semakin terformalisasinya kebudayaan sebagai produk dari pasar dan paket wisata, alih-alih buatannya “orang banyak”; (4) konflik agraria di pedesaan ataupun perkotaan, yang dalam banyak kasus justru difasilitasi oleh pemangku kebijakan, melalui dialokasikannya tanah untuk kepentingan ekonomi ekstraktif dan skala besar, di atas tanah-tanah produksi pertanian dan telah didiami oleh penduduk sehingga mereka terancam mengalami dislokasi.  Perumahan tumbuh subur di atas sawah produktif, banyak dalam status ilegal atau manipulasi perijinan pembukaan tanah dan pembangunan antara pejabat publik dan pengembang.  

Oleh sebagian orang, gambaran perubahannya mungkin dirasa tidak sesuram itu. Namun itulah yang hendak kami ingatkan melalui paket buku-film tersebut, untuk mengatakan pentingnya mencari makna lebih substantif atas keistimewaan Yogyakarta dan lebih awas memahami proses global yang sedang terjadi. Perlahan, dinamika yang terjadi mengarah pada proses “diferensiasi kelas”, “diferensiasi spasial”, dan “diferensiasi etnis-agama”.   

Jika “keistimewaan” adalah konsekuensi dan bukan kondisi, maka dia adalah kata kerja dan bukan kata sifat yang melekat terus menerus untuk diklaim dan dijadikan alat legitimasi.

Tanah
Tulisan ini tidak mengulas masalah Sultan Grond atau Pakualaman Grond dalam isu pertanahan di Yogyakarta dan bagaimana hukum tanah swapraja di dalam konteks hukum tanah nasional, dan transformasinya tatkala diberlakukan UUPA 1960 pada tahun 1984 di Yogyakarta. Hal ini telah banyak diulas oleh tulisan lain2.  Tulisan ini akan menyajikan satu refleksi atas masalah pertanahan di pedesaan Yogyakarta, yakni di lahan pesisir Kulonprogo. 


Pasca Orde Baru, terjadi perubahan mendasar dalam pola penguasaan sumber-sumber daya alam dan agraria. Desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk memberi ijin lokasi dan konsesi pada perusahaan ekstraksi atas tanah. 

Di Kulon Progo, terdapat kebijakan investasi pembukaan pertambangan pasir yang mengandung bijih besi di lahan pesisir yang telah diolah dan dikuasai masyarakat. Muncul perebutan penguasaan antara  pihak Keraton Yogyakarta, Paku Alaman dan masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak Kerajaan ingin membuka pertambangan pasir besi di lahan ini. Bermula dari rencana proyek besar penambangan Pasir Besi oleh PT. Jogja Magansa Mining (JMM) yang saham utamanya dimiliki keluarga besar Keraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta berkerja sama dengan PT Indomine Australia. Rencana investasi ini disetujui oleh Pemda Kulon Progo dengan alas argumen dapat meningkatkan pemasukan daerah (yang diasumsikan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, trickle down effects). Keluarga kasultanan masuk dalam jajaran elit pemegang saham terbesar dan sebagai Komisaris PT Jogja Magasa Minning (JMM). Sebagian besar pemilik konsesi penambangan adalah keluarga Keraton.

Lahan pantai yang direncanakan sebagai lahan tambang, membentang dari batas sungai Bogowonto hingga sungai Progo, lebih dari 3000 ha, sepanjang 22 kilometer. Masuk ke arah daratan dan pemukiman sejauh 1,8 km dari garis pantai. Itu artinya menabrak wilayah sejumlah desa di empat kecamatan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di kecamatan Temon: Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates, Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan (selanjutnya yang disebut “warga pesisir” lebih banyak mengacu pada warga di keempat desa terakhir ini). Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan pertanian dan rumahnya, hingga sulit dipahami bagaimana kesejahteraan bisa dimunculkan dari perubahan struktur agraria secara besar-besaran seperti ini.3


Di atas lahan pesisir ini telah dibudidayakan tanaman holtikultura: cabe keriting, melon, semangka, sawi, dan kacang panjang, dengan hasil panen yang mengagumkan. Sebagai contoh, satu bulan yang lalu (Juni 2012), ratusan petani yang tergabung dalam Gapoktan Catur Margo Mulyo menggelar panen raya cabai di Desa Garongan, Panjatan. Di desa Garongan lahan yang ditanami cabai mencapai 160 hektare. Produksi setiap harinya adalah 10-15 ton cabai merah. Jika terus dirawat masa panen bisa sampai 30 kali petik (2 bulan). Harga cabai mencapai Rp 15.000 – Rp. 24.000.  Dengan rata-rata kepemilikan lahan 1 petak (2000 m), seorang petani pernah memperoleh uang 7 juta sekali petik pada bulan lalu. Keberlangsungan budaya pertanian ini tentu saja tidak bisa diremehkan. Panen raya yang mereka selenggarakan pada 21 Juni, dengan mengambil judul “Menanam Budaya Kita”, merefleksikan hal-hal berikut.

Pertama, kata “kultur” yang berarti menanam, digunakan kemudian untuk mengartikan kebudayaan (culture/kultuur). Dari aktifitas menanam atau bertani itulah, yakni tatkala manusia berhubungan dengan alam dan sesama manusia, maka lahirlah kebudayaan dan peradaban. Sistem kebudayaan yang langgeng dapat lahir dari aktiftas bertani yang berkesinambungan. Sebaliknya kebudayaan tidak akan lahir dari aktifitas manusia terhadap alam dalam hubungannya yang ekstraktif: mengeruk tambang mineral dari perut bumi, menjualnya ke luar dan dimanfaatkan oleh pemodal, lalu tanah itu ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan dampak ekologis-sosial yang membahayakan berupa tailing, penyakit, pencemaran darat-sungai-laut, dsb.  Sebaliknya, aktifitas bertani yang sustainable mampu merawat bumi dan membuatnya lestari, demi keberlangsungan kehidupan itu sendiri, keselamatan manusia, dan menjaga keutuhan fungsi alam.

Membandingkan dengan data nasional, kenyataan dunia pertambangan demikian mengkhawatirkan.  Sampai Januari 2012, dikeluarkan 10.235 izin pengerukan tambang, 2.475 di antaranya di Kalimantan.  Dari jumlah itu, 1.212 konsesi tambang di Kalimantan Timur yang luasnya 4,4 juta hektar atau 22,1 persen luas provinsi. Pertambangan telah mengancam keragaman hayati pada sedikitnya 3,97 juta hektar kawasan hutan lindung. Ironisnya, penduduk hanya menggunakan 2 persen dari lebih dari 200 juta ton batubara yang dibongkar dari perut Kalimantan. Dalam 10 tahun terakhir, korporasi penambangan emas Newmont dan Freeport ”direstui” membuang 1.475 miliar ton limbah tailing ke sungai dan laut Indonesia. Dinas Kesehatan Samarinda mencatat, sampai awal tahun 2011 terdapat 17.444 kasus infeksi saluran pernapasan atas. Antara 2007 dan 2011 terjadi 72 kali banjir, berdampak pada lebih dari 10.000 warga, dengan kerugian sedikitnya Rp 2,3 miliar setiap banjir. Dua dari 150 lubang bekas penambangan telah menewaskan lima pelajar. Dalam 10 tahun terakhir, kerusakan kawasan tangkapan air 1,1-1,7 juta hektar per tahun, sebagian besar dialihfungsikan menjadi kawasan pembalakan kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan. Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan, 63 persen dari 51 sungai besar di Indonesia tercemar berat, 31 persen tercemar sedang.4

Kedua, kegiatan panen raya itu sekaligus suatu demonstrasi bahwa dengan bertani masyarakat pesisir kulonprogo dapat sejahtera. Menjadi tugas negara yang notabene “negara kesejahteraan”lah  yang semestinya turut melindunginya, bukan malah mendorongnya agar dimangsa kapitalisme-feodal pertambangan.  Dengan mengetahui jumlah panenan yang dihasilkan, rupiah yang didapatkan, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja yang terlibat, kebutuhan pupuk dan saprotan yang dikeluarkan, pedagang kulakan yang diuntungkan yang datang dari berbagai kota,  maka pertanian lahan pesisir demikian nyata menyumbang kesejahteraan bagi banyak penduduk/pihak.  Perputaran uang di wilayah ini demikian tinggi, menghasilkan multiplier effects bagi sektor lainnya.  Secara sederhana pemerintah daerah semestinya dapat menghitungnya.

Ketiga, keberhasilan bertani di lahan pesisir memahamkan bahwa petani telah melahirkan serangkaian inovasi (Sains Petani), berupa  (1) mengolah lahan pertanian di atas lahan pesisir, (2) sistem irigasi dengan sumur renteng, (3) penanganan hama, (4) menangkal terpaan angin pantai yang kencang agar tidak merusak tanaman, (5)  penjualan panenan melalui sistem lelang sehingga antar petani tidak saling bersaing dan konflik serta membuat posisi petani kuat dalam mengontrol harga. Menghadapi berbagai tekanan atas kebijakan pemerintah mengubah lanskap pesisir menjadi penambangan pasir besi dengan memberikan ijin penambangan pada PT JMI dan PT JMM yang dimiliki oleh keluarga keraton dan pemodal Australia, warga pesisir kulonprogo menunjukkan (6) kekuatan berorganisasi, berjejaring, dan berargumentasi demi mempertahankan hak asasinya atas tanah mereka.5 

Keempat, berdaulat produksi hingga penjualan komoditas adalah bentuk perlawanan utama atas berbagai tekanan yang terjadi. Dengan terus bertani, berproduksi, dan berdaulat pangan, petani tidak perlu merasa khawatir dengan perubahan yang terjadi di (elit) politik yang terkadang memanfaatkan isu mereka untuk medongkrak popularitas, dan berbagai kepentingan lain yang terus mengiringinya.

Keempat, menunjukkan kesuksesan alih generasi. Tatkala BPS 2012 melaporkan adanya konversi lahan pangan sejumlah 100.000 ha/tahun, dan jumlah petani berkurang 3,1 juta/tahun (7,42% populasi), di sepanjang pesisir Kulonprogo, para penduduknya justru  bertani dengan senang hati dengan panennya yang melimpah. Perayaan acara panen raya Juni yang lalu dihadiri oleh berbagai kelompok usia, laki-laki dan perempuan, para petani lahan pesisir. Persoalan alih fungsi lahan pangan dan alih generasi ini sangat mengkhawatirkan, mengakibatkan kebutuhan pangan harus diperoleh dengan impor, sebagaimana di Indonesia untuk setiap tahunnya mengalami kenaikan 65%/th (125 triliun), dan tercerabutnya tenaga kerja dan masa depan anak muda di pedesaan. Hal demikian telah menjadi pertanyaan kritis dalam studi agraria.

Terdapat klaim bahwa "smallholders can feed the world and keep the globe cool", namun hal ini sulit terjadi jika anak-anak muda desa sudah tidak tertarik lagi tinggal di desa dan bekerja di sektor pertanian. Lantas, siapa yang nantinya will own the countryside, apakah itu berarti corporate farming, corporate agribusiness yang adalah satu kemestian yang tidak bisa dielakkan? Adakah alternatif lain terhadap sistem pertanian korporatis yang melegitimasi gelombang baru global land acquisition dewasa ini?6

Kelima, berbagai perlawanan yang dilakukan oleh warga pesisir adalah untuk mengingatkan mandat konstitusi yang harus dijalankan negara (“mewujudkan kesejahteraan umum” dan terciptanya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”), sekaligus menunjukkan apa akibatnya jika negara tidak menjalankan konstitusi dengan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.7 Para warga lahan pesisir yang melakukan tindakan penolakan kebijakan tambang pasir adalah “para pengingat mandat konstitusi”, bukan “pelaku kriminal”.  Mereka justru sedang berada dalam posisi memperkuat negara, sehingga tidak pantas dan tepat untuk dikriminalisasikan. Ironisnya, salah satu petani bernama Tukijo yang dianggap pejuang  para petani lahan pesisir, justru “dikriminalisasi” dan ditahan 3 tahun dengan tuduhan “merampas kemerdekaan orang”. Aparat keamanan dan pengadilan hanya memproses atas “reaksi” yang ditunjukkan oleh para petani, dan mencoba menutupi alih-alih memproses pada “aksi-aksi” penyebab dasar yang mengancam hak dasar dan kemerdekaan para petani tersebut.

Siapa yang sedang diingatkannya? Pemilik otoritas, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, keraton, dan kadipaten di Yogyakarta. Mereka mengingatkan agar negara berlaku menyejahterakan rakyatnya; raja atau adipati harus budiman dengan melindungi kawulanya dan bukan berlaku sebaliknya. Karena mengingatkan, mereka tidak sedang mendeligitamsi pemilik otoritas, namun justru sedang menghormati eksistensi atau dasar keberadaannya. 

Akan tetapi jika telah diingatkan dengan berbagai cara, negara dan keraton/kadipaten tetap bertahan dengan kebijakan yang menyingkirkan rakyat, maka dengan sendirinya ia tuna legitimasi di hadapan rakyat. Kondisi demikian sebenarnya membawa akibat yang membahayakan: (1) menghambat terjadinya transformasi identitas dari penduduk lokal tempatan menjadi warganegara Indonesia, sebab mereka anti Indonesia/negara, (2) menempatkan negara ditinggalkan warganya sehingga membuat ia lemah dan mudah dikuasai oleh kekuatan kapital-liberal yang merugikan. 

Maka, perlu membuka lebar-lebar mata hati dan pikiran kita atas pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman bertani pesisir masyarakat Kulonprogo ini. Serta, secara terus menerus mengingatkan segenap pihak agar mencari dan menciptakan makna kesitimewaan Yogyakarta yang bisa dirasakan dalam praktik sehari-hari masyarakat luas, terutama mereka yang selama ini termarjinalkan.

Kekuasaan
Untuk menutup tulisan ini, penulis meringkaskan berbagai kekuatan yang menandai proses transisi agraria, termasuk yang terjadi di Yogyakarta, dengan apa yang disebut sebagai kekuatan eksklusi (power of exclusion) yang mengakibatkan rakyat tercerabut dari tanahnya8. Berbagai kekuatan itu adalah regulation (kebijakan); force (kekuatan); the market (pasar); dan legitimation (pengabsahan).  Regulation, seringkali namun tidak eksklusif, diasosiasikan dengan instrumen legal-negara, yang menetapkan aturan akses atas tanah dan kondisi penggunaannya. Force adalah kekerasan atau ancaman kekerasan baik yang aktornya state atau non-state. The market adalah kekuatan eksklusi yang bekerja membatasi akses melalui bentuk “harga” dan kreasi “insentif” dengan semakin terindividualisasikannya tanah. Legitimation menentukan dasar moral atas klaim,  dan tentu saja dalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan, sehingga dengan itu menjadi basis eksklusi yang secara politik dan sosial dapat diterima.

Dalam pengalaman Yogyakarta, tragisnya, empat kekuatan sedang bekerja. Contoh, legitimasi dalam isu (Keistimewaan) Yogyakarta yang saat ini muncul adalah melalui politik identitas: digunakannya sentimen asli-non asli; “mencari makan di Yogya berarti mendukung Penetapan”; dan mobilisasi berbagai potensi kultural lainnya yang ada. Sementara kita faham bahwa “yang istimewa” itu adalah “rakyatnya”, rakyat dengan segenap kreasi budaya-politik-sosial-ekonominya yang selama ini memberi ciri beda bagi praktik keseharian kehidupan ber-Yogyakarta ini.  (ANL. 9 Juli 2012)

 Catatan akhir: 
1.          Tulisan ini merupakan naskah pemantik diskusi dengan tema “ Reforma Agraria Menuju Indonesia Yang Sejahtera : Sebuah Tantangan Dan Harapan”, 11 Juli 2012 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di UC UGM, Yogyakarta. link 
2.          Ahmad Nashih Luthfi, M. Nazir, Amin Tohari, Dian Andika Winda , dan Diar Chandra. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan, (Yogyakarta: STPN, 2009) 
3.          Dian Yanuardy dan Eko Cahyono, “Konflik Lahan Pasir Besi dan Dinamika Sosial-Ekonomi Petani Pesisir Kulon Progo”, dalam Laksm Savitri, Moh. Shohibuddin, dan Surya Saluang (ed.), Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi, (STPN dan Sajogyo Institute, 2009).
4.          “Dirampok Keserakahan dan Kerakusan”, harian Kompas, 12 Juni 2012 
5.          Ulasan mengenai inovasi teknologi pertanian lahan pesisir ini lihat,  Dja’far Shiddieq, dkk. “Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir”, presentasi di FakultasPertanian, UGM,  2009 
6.          Ben White, “Who Will Own the Countryside: Dispossession, Rural Youth and the Future of Farming”, Valedictory Lecture, ISS, 13 October 2011; Ben White, “Changing Childhoods: Javanese Village Children in Three Generations”,  Journal of Agrarian Change, Vol. 12 No. 1, January 2012, pp. 81–97. unduh 
7.          Mengenai Konstitusionalisme agraria, lihat Noer Fauzi Rachman, “Melanjutkan Indonesia dengan Konstitusionalisme Agraria”, makalah pada  In Memoriam Prof. Sajogyo: Bukan Sekedar Garis. Belajar dari Keteladanan Hidup dan Pemikiran Prof. Sajogyo, IIC IPB, 21 Mei 2012 
8.          Derek Hall, Philip Hirsch, dan tania Murray Li, 2011, Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, (Singapore: National University of Singapore)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar