Minggu, 14 Oktober 2012

Tujuh Dosa Sosial Menurut Mahatma Gandhi


Mahatma Gandhi, tokoh pembebasan India dan guru spritual yang menginspirasi gerakan perdamaian, anti kekerasan, dan kedaulatan berproduksi, menyebut tujuh dosa sosial yang seringkali diidap individu namun jarang disadari. Berikut tafsiran saya.

1. Science without humanity. Pengetahuan tanpa kemanusiaan. Suatu kesalahan besar jika pencapaian pengetahuan tidak disertai penghargaan kepada kemanusiaan bahkan untuk menindasnya, menghardik sesama atas legitimasi pengetahuan. Pengetahuan ditampilkan sebagai arena kekuasaan.

2. Worship without sacrifice. Kebaktian tanpa pengorbanan. Banyak sekali orang menjalankan ibadah, menabung untuk ritual, menghabiskan uang-waktu-pikiran untuk sesembahan, namun tidak disertai kerelaan berkorban untuk sesamanya, mengorbankan nafsu sendiri untuk sesuatu yang lebih mulia. Mengorbankan orang lain daripada hasrat pribadi.

3. Commerce without morality. Dunia sekarang adalah dunia “dol-dolan”: “yang publik” dipribadikan, “yang layanan” diperdagangkan, “yang mandat negara” diswastakan, “yang negara” di-rente-kan, apalagi yang memang benar-benar pribadi sehingga bisa dipertukar-dagangkan. Kaum pedagang adalah kaum yang meniagakan hasil produksi. Mereka sendiri tidak memproduksi. Berat ujiannya, sehingga konon “aktifitas perniagaan” adalah arena menguji keimanan. Sarat tipu-daya. Sepulang dari pasar, disarankan membasuh tangan-kaki-muka, seperti sekembali dari pemakaman. Khawatir dedemit ikut menempel dalam perjalanan. Moralitas seseorang ditempa, apakah dalam berdagangnya ia melipatgandakan profit dengan cara-cara brutal baik aktual maupun tersamar; ataukah saling ridlo dan tidak mematikan satu sama lain. Surga imbalannya.

4. Education without character. Pendidikan tanpa karakter. Ini paling kasat mata. Judul pelajaran atau kuliah diciptakan. Plang nama pendidikan dipajang. Cerdik pandai bertahan gagasan tentang nama jurusan atau pusat pelatihan. Ternyata, tak lain tak bukan adalah “dodolan”. Dalam motif macam ini, pendidikan yang dihasilkan sulit melahirkan pribadi-pribadi berkarakter. Murid-sarjana yang lahir dari pendidikan yang mengabaikan pembangunan karakter akan bisa mengabdi pada apa saja. Moralitas bukan utama, integritas tidak penting. Uang dan kekuasaan yang afdhol. Bahkan kesadaran tentang dirinya sendiri dengan segenap fitrah kemanusiaannya ditinggalkan. Diri yang meninggalkan Diri sendiri.

5. Wealth without work. Kekayaan tanpa kerja, kesejahteraan tanpa usaha. Hasil tanpa proses. Jalan pintas yang ditempuh: cara-cara instan, cepat, berhasil lipat. Biarkan orang lain yang mengerjakan asal hasilnya untuk diri sendiri. Apakah pendidikan juga mengajarkan agar bisa berlaku rumus demikian? Jika pragmatisme telah menjadi laku, dan “kerja” sebagai penghormatan atas kemanusiaan semakin ditindas, maka apa lagi yang tersisa untuk bisa dimuliaka? Kerja adalah mulia, dan pragmatisme adalah ingkar pada kerja.

6. Pleasure without consciousness. Kesenangan tanpa kesadaran. Mulai dari hanya mau senangnya dan emoh pada cara mendapatkannya, sampai dengan lupa untuk apa kesenangan itu. Bukan tidak boleh memperoleh kesenangan, namun penghiburan itu terletak pada kemampuannya berbagi. Terbangun kesadaran, bahwa ada orang yang tidak bisa mendapatkannya; sadar bahwa bisa jadi perolehan kesenangan itu terjadi dengan cara penyedihan di pihak lain (uneven pleasure). Dengan begitu, penyenangan diri secara demikian musti dihentikan.

7. Politics without principal. Politik tanpa prinsip, tanpa ideologi kemaslahatan. Politik adalah perilaku, manifestasi subyektifitas seseorang untuk terpenuhi haknya. Semua orang berpolitik sehingga semua orang termanifestasikan subyektifitasnya. Ideologi dalam politik adalah kendaraan untuk penghormatan atas perwujudan subyektifitas itu, bukan penindasan. Pemuliaan atas subyektifitas warga negara sebagai kaum tani, sebagai pejalan kaki, sebagai pemeluk keyakinan, sebagai pembelajar, sebagai pengelola meja praja, sebagai guru, juga peniaga. Dengan segenap pemenuhan hak-hak mereka. Yang berpinsip itulah “Yang Politik”. Politik menjadi kotor tatkala tidak diletakkan di bawah prinsip kesejahteraan bersama, perayaan atas subyektifitas multiragam. Maka itulah lembaga negara didirikan, namun bukan untuk menjadi ekseku-thieve, legisla-thieve, dan judika-thieve. Jikalau setiap orang adalah pewujud (atau penindas) subyektifitas, maka begitulah setiap orang berpolitik.


(Ahmad Nashih Luthfi, Majalah Sandi edisi 34, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar